Liputan6.com, Jakarta - Testimoni gembong narkoba Freddy Budiman yang sudah dieksekusi mati, menyisakan tanda tanya. Benarkah banyak aparat penegak hukum yang terlibat? Dan, benarkah mahalnya harga narkotika lantaran banyak titipan harga dari berbagai pihak?
Liputan6.com pun mencoba mengonfirmasi pernyataan Freddy Budiman yang ia ceritakan pada Ketua Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar, dua tahun lalu.
Baca Juga
Beberapa pernyataan Freddy ke Haris terkonfirmasi dalam berkas yang dimiliki Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Barat (Jakbar). Dari data yang dimiliki oleh Kejari Jakbar, pleidoi yang dimaksud Freddy tak ditemukan meski sudah melakukan pencarian selama beberapa hari. Entah terselip atau tidak.
Advertisement
Terlebih, jaksa yang menangani kasus Freddy meninggal dunia beberapa waktu lalu. Sedangkan satu orang jaksa lagi, sudah tak bertugas di Kejari Jakbar.
Sementara di pengadilan Jakarta Barat juga belum ditemukan datanya. Liputan6.com mendapati salah satu pengacara yang menangani kasus Freddy saat ia dihukum mati. Tapi sayang, sang pengacara tak mau namanya dimuat dan tak ingin memberikan keterangan apa pun.
Dari penelusuran Liputan6.com di Kejari Jakbar sejak Jumat 5 Agustus 2016, hanya mendapati soal putusan dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang berisi fakta persidangan, keterangan saksi, dan putusan hukuman mati untuk Freddy. Juga terdapat beratus halaman salinan putusan dan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Freddy.
Berkas PK Freddy
Ada perbedaan yang mendasar di kasus Freddy, pengacara yang menangani PK dengan putusan hukuman matinya berbeda. Dan dalam pengajuan PK setebal 145 halaman itu, Freddy mulai menyasar institusi TNI. Ia melalui kuasa hukumnya dalam PK itu menyebutkan jika peran yang lebih besar adalah peran Supriadi, seorang anggota TNI yang mengelola koperasi milik TNI.
Jika di persidangan pertama, pihak Freddy tak menusuk dan langsung menyebutkan perbandingan dan menuntut persamaan hak di mata hukum dengan Supriadi. Maka di PK-nya, Freddy Budiman dengan jelas menyerang ketidakadilan yang ia rasakan atas putusan terhadap Supriadi yang lebih rendah dari hukuman matinya.
Di dalam berkas putusan yang memuat fakta-fakta persidangan itu, hanya tiga kali menyebutkan Supriadi yang dijelaskan di sidang terpisah di persidangan militer.
Sedangkan dari keterangan para saksi menyebutkan jika Supriadi memiliki peran paling penting. Dan tanpa Supriadi serta surat-menyurat milik koperasi tentara itu, pastilah kontainer berisi 1,4 juta pil ekstasi itu tak bisa berlabuh dan keluar dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Sementara itu, tiga kuasa hukum Freddy Budiman yang menangani kasus 1,4 juta pil itu belum bisa dihubungi. Tiga kuasa hukumnya itu adalah Baron V Hani, Alusius Sulistyo, dan Adhi Wibowo yang berkantor di Karawaci, Tangerang, Banten di bawah kantor hukum J & A Law Office.
Dalam fakta persidangan juga terungkap dan terkonfirmasi bahwa harga narkotika melambung tinggi karena banyak pihak yang harus dilewati dan mereka meminta persenan dari setiap tempat yang dilalui narkotika itu. Mulai dari si pengurus, penyedia kontainer, penyedia gudang, sopir truk dan Koperasi TNI sebesar Rp 90 juta untuk sekali pengeluaran dari pelabuhan.
KSAD Siap Bantu BNN
Perihal kebenaran testimoni Freddy Budiman juga menjadi sorotan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Mulyono. Terutama adanya pernyataan dari mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI Laksdya Purn Soelaman Ponto terkait penggerebekan 1,4 juta ekstasi milik terpidana mati Freddy Budiman pada 2012.
Terkait itu, KSAD mengaku siap sepenuhnya untuk bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN). "Kalau orang membutuhkan, ya saya bantu. Kalau meminta bantuan TNI, ya saya keluarkan. Tapi kalau soal narkoba itu kan bukan tugas pokok saya bukan itu. Tetapi kalau diminta memperkuat BNN, ya saya kasih," ucap Mulyono di Jakarta, Rabu 10 Agustus 2016.
Menyikapi lebih lanjut, kata Mulyono, bekerja sama dengan Tim Satgas Pengawasan Obat dan Makanan (POM), Panglima TNIÂ Jenderal Gatot Nurmantyo telah membentuk tim investigasi untuk menindaklanjuti kasus Freddy Budiman. Namun, karena proses penyidikan yang baru berjalan selama kurang lebih dua hari, Mulyono belum dapat berkomentar banyak.
"Panglima TNI sudah bentuk tim investigasi, kerja sama dengan POM. Belum bisa kasih hasil apa-apa ya, tunggu saja hasilnya. Ini prosesnya kan baru berjalan 2-3 hari," Mulyono menjelaskan.
Penggunaan Fasilitas Militer
Melihat mirisnya kasus narkoba yang diduga menyandung sejumlah lembaga negara tersebut, Mulyono selaku KSAD akan dengan tegas dan ketat melakukan pemeriksaan terhadap anak buahnya. Terutama terhadap penggunaan fasilitas-fasilitas militer yang sering disalahgunakan individu atau pihak tertentu.
"Saya selalu cek, begitu ada kejadian seperti itu saya selalu instruksikan ke bawahan saya untuk mewaspadai hal seperti itu terkait kalau ada kejadian seperti itu, terkait juga penggunaan sarana prasarana harus didisiplinkan lagi karena di situ ada kendaraan-kendaraan preman yang menggunakan pelat tentara," Mulyono menegaskan.
"Saya juga akan disiplinkan lagi tentang penggunaan fasilitas-fasilitas yang dipakai oleh para pejabat, termasuk yang digunakan oleh orang-orang yang sikapnya pinjaman," ia menambahkan.
KSAD juga menuturkan, permasalahan narkoba bagi dirinya adalah permasalahan darurat yang perlu diperhatikan. Di dalam TNI AD sendiri, Mulyono mengaku kerap kali melakukan pengecekan. Terutama, mengantisipasi anggota di dalam TNI yang terlibat dalam kasus narkoba, baik sebagai pengedar maupun pengguna.
"Untuk masalah narkoba, saya sendiri concern (peduli) dengan itu. Untuk institusi Angkatan Darat sudah setiap saat kita adakan pemeriksaan dan ada pengecekan secara sidak," ujar Mulyono.
Tak Ada Toleransi
"Saya juga tidak ingin anggota saya terlibat dalam jaringan narkoba, baik pengguna maupun pengedar. Dan saya tidak menoleransi apabila ada prajurit saya yang terlibat di dalamnya," tutur Mulyono saat acara bersama sejumlah pemimpin redaksi di Ruang Rafflesia Balai Kartini, Jakarta Selatan, Rabu 10 Agustus 2016.
Selain itu, Mulyono juga tak mau nama baik institusi TNI AD tercoreng dengan adanya sejumlah anggota yang dijadikan sebagai tumpangan demi mencapai kepentingan pribadinya.
"Saya juga tidak ingin institusi angkatan darat digunakan oleh orang untuk dijadikan alat memperkuat atau diboncengi oleh orang yang hanya numpang untuk mengamankan kepentingannya mereka," KSAD Jenderal Mulyono menandaskan.
Sebelumnya, penemuan 1,4 juta ekstasi milik Freddy Budiman tersebut dibenarkan mantan Deputi BNN Benny Mamoto pada Senin, 8 Agustus 2016. Ia juga mengiyakan bahwa ekstasi tersebut bersumber dari Negara Tirai Bambu, di sebuah kontainer berkode TGHU yang diangkut kapal YM Instruction Voyage 93. (Winda Prisilia)
Advertisement