Kisah Tragis Tewasnya Sang Jurnalis Perang di Aceh

Hari ini, 14 tahun lalu, jurnalis senior tawanan GAM, Sori Ersa Siregar, tewas tertembak peluru TNI yang tengah berperang melawan separatis.

oleh Rita Ayuningtyas diperbarui 29 Des 2017, 10:07 WIB
Diterbitkan 29 Des 2017, 10:07 WIB
Demo Tolak Kekerasan terhadap Wartawan
Seorang wartawan membentangkan poster saat aksi solidaritas tolak kekerasan terhadap jurnalis di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (14/11/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Sudah dua hari tim stasiun televisi Rajawali Citra Televisi (RCTI) tak dapat menghubungi tiga punggawanya. Masing-masing, reporter Sori Ersa Siregar, juru kamera Fery Santoro, dan sopir Rahmatsyah yang tengah bertugas di Nanggroe Aceh Darussalam.

Terakhir, ketiganya berkoordinasi dengan kantornya sekitar pukul 16.00 WIB, Minggu, 29 Juni 2003. Saat itu mereka dalam perjalanan dari Langsa menuju Lhokseumawe.

Hilang kontak dengan wartawan di Aceh bukanlah hal baru. Ada kemungkinan, kehilangan kontak tersebut terjadi karena mati listrik di wilayah itu.

Sejumlah penduduk mengaku melihat kendaraan Toyota Kijang bertuliskan "Pers" dan "RCTI" melintas menuju Lhokseumawe, Aceh Utara, dari Langsa, Aceh Timur.

Namun, kali ini berbeda. Selasa, 1 Juli 2003, Liputan6.com memberitakan Ersa Siregar dan kedua rekannya dinyatakan hilang.

Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) Aceh kemudian memerintahkan seluruh jajarannya, dari mulai komando resor militer dan komando distrik militer untuk mencari ketiganya.

Malam itu pula, puluhan wartawan mendatangi markas tim reportase RCTI di Lhokseumawe untuk menyatakan simpati atas belum diketahuinya keberadaan rekannya. Sebab, hilangnya jurnalis ketika meliput di Aceh bukan hanya sekali itu terjadi.

Sebelumnya, Muhammad Jamal, juru kamera TVRI Banda Aceh yang sempat dinyatakan hilang sejak hari kedua pemberlakuan Darurat Militer, ditemukan tewas.

Diculik hingga Tewas Tertembak

Demo Tolak Kekerasan terhadap Wartawan
Sejumlah wartawan mengumpulkan ID Card, kamera, dan alat perekam saat berunjuk rasa di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (14/11/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Pada 4 Juli 2003, ketiganya dikabarkan tengah menjadi sandera kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak 29 Juni 2003. Ketiganya disandera bersama puluhan warga lainnya yang dua orang di antaranya diketahui sebagai istri perwira TNI, Soraya dan Safrida.

Status Soraya dan Safrida sebagai istri perwira TNI dianggap memiliki nilai penting oleh GAM. GAM berkeras menyandera kedua wanita tersebut. Kondisi inilah yang membuat Ersa dan Fery sulit lepas dari GAM. Ersa dan Fery tidak bersedia dibebaskan tanpa kesertaan Soraya dan Safrida.

Selama enam bulan, mereka masih berada di tangan pemberontak yang ingin melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sejumlah usaha dilakukan untuk mencari keberadaan mereka. Sampai akhirnya, TNI melakukan patroli rutin di daerah rawa di Dusun Kuala Manihan, Kecamatan Simpang Ulim.

Sekitar pukul 12.30 WIB, Senin 29 Desember 2003, pasukan TNI bertemu dengan sekelompok anggota GAM. Kontak senjata terjadi.

Melalui teleconference dari Aceh, Panglima Koordinator Operasi TNI Brigadir Jenderal George Toisutta menjelaskan, dua anggota GAM tewas dan dua lainnya luka-luka. Soraya dan Safrida selamat tanpa luka.

Namun, Sori Ersa Siregar meninggal....

Peluru TNI dan Alang-Alang

Pada baku tembak itu, kedua belah pihak tak mengetahui kondisi masing-masing lawan. Jarak pandang terhalang alang-alang yang tinggi. Kontak senjata berlangsung berdasarkan arah tembakan.

Kontak senjata berlangsung selama 20 menit.

Setelahnya, TNI menyisir lokasi perang. TNI menemukan dua jenazah korban pertempuran. Ternyata seorang di antaranya adalah Ersa.

RCTI mengabarkan, Ersa tewas dengan beberapa luka tembak di bagian dada. TNI pun menunjukkan beberapa barang milik Ersa seperti sebuah kamera, kartu pers, beberapa baju, dan sejumlah kartu nama milik kawan bapak tiga anak tersebut.

Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu yang saat itu menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat membenarkan Ersa meninggal karena peluru tentara. "Kan, Ersa ada di pihak GAM," ungkap Ryamizard, di Jakarta, Selasa, 30 Desember 2003.

Dia mengatakan, kejadian seperti yang menimpa wartawan senior RCTI itu memang sulit dihindari. Apalagi, tentara yang sedang bertugas tak mengetahui kalau saat itu ada seorang sandera.

"Peluru enggak bisa melihat mana yang salah dan benar. Jadi, jangan diputar balik," jelas bekas Panglima Komando Cadangan Strategis AD ini.

Sementara sopir RCTI, Rahmatsyah, telah dibebaskan pada awal Desember 2003. Sedangkan juru kamera RCTI Ferry Santoro baru dibebaskan pada 16 Mei 2004, setelah dilakukan negosiasi dengan kelompok pemberontak itu.

 

Pesan Terakhir

Demo Tolak Kekerasan terhadap Wartawan
Sejumlah wartawan melakukan aksi teatrikal di Bundaran HI, Jakarta, Jumat (14/11/2014). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Hari ini, 14 tahun lalu, seorang jurnalis senior tawanan GAM, Sori Ersa Siregar, tewas tertembak peluru TNI yang tengah berperang melawan kelompok separatis itu.

Usai diidentifikasi, jenazah Ersa disemayamkan di Rumah Sakit Angkatan Darat Kesrem Lilawangsa, Lhokseumawe, Aceh Utara, sebelum diterbangkan ke Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, dengan pesawat komersial dan dibawa ke ke rumah duka.

Kematian Ersa meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan kerabat almarhum. Kerabat, sanak keluarga, rekan seprofesi dan pelayat terus berdatangan ke rumah duka.

Keluarga almarhum mengaku tak mempunyai firasat akan kematian Ersa. Istri almarhum, Tuty Komala Bintang boru Hasibuan, mengetahui kematian suaminya sekitar pukul 17.00 WIB, 29 Desember 2003 saat diberitahu pihak RCTI.  

Almarhum dikenang sebagai ayah yang baik. Menjelang akhir hayatnya, Ersa sempat berpesan kepada putri bungsunya, Meiliani Fauziah, agar tetap bersekolah dan tidak memikirkan keadaannya.

"Seminggu terakhir aku selalu menyebut nama Papa kalau sedang nonton film atau makan kesukaan Papa. Pesan terakhir Papa suruh jagain Mama, pintar-pintar sekolah, jangan bandel," ujar Meiliani saat itu.

Ersa menikah dengan Tuti Komala Bintang dan dikaruniai tiga anak, Ridwan Ermalandra Siregar (34), Syawaludin Adesyafitrah Siregar (33), dan Meiliani Fauziah Siregar (31).

Dia, di antara rekan seprofesinya, dikenal sebagai sosok yang banyak membantu rekan-rekan juniornya. Dia juga dikenal tegas, tak kenal lelah, namun humoris.

Ersa Siregar mengabdikan 20 tahun hidupnya di dunia junalistik. Sebagai wartawan senior, Ersa terkenal berani dan tak jarang masuk ke daerah-daerah konflik, termasuk ke Aceh. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pun memberi penghargaan Udin Award 2003 untuk Ersa atas segala dedikasinya.

Pria kelahiran Berastagi, Sumatera Utara, 4 Desember 1951 ini pernah bekerja sebagai staf administrasi dalam periode 1970-1982. Ersa mulai mengenal jurnalistik pada 1981 di Balai Pondok Wartawan. Empat tahun kemudian dia aktif menulis berbagai masalah pariwisata. Namun, Ersa baru menjadi wartawan pada 1992 ketika bergabung di Persatuan Wartawan Indonesia Jaya.

Setahun berlalu, alumnus Fakultas Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini memulai kiprahnya di dunia televisi. Ersa masuk ke RCTI pada 18 Agustus 1993. Dia memegang beberapa jabatan, antara lain Koordinator Peliputan (Korlip) daerah pada 1993-1997. Ersa juga pernah menjabat sebagai Korlip Bidang Pariwisata dan Hiburan serta Korlip Bidang Hukum dan Kriminal serta Ibu Kota di tahun 1999. Sejak 2001 hingga peliputan terakhirnya Aceh, Ersa masih menjabat sebagai korlip.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya