Meski Sudah Dicabut, Pembatasan Medsos Dianggap Mampu Cegah Penyebaran Hoaks

Langkah pemerintah yang membatasi medsos dianggap mampu menekan penyebaran konten hoaks.

oleh Liputan6.com diperbarui 25 Mei 2019, 20:54 WIB
Diterbitkan 25 Mei 2019, 20:54 WIB
Media Sosial
Ilustrasi Media Sosial (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah mencabut pembatasan media sosial (medsos) pasca-aksi 22 Mei 2019.

Meski sudah resmi dicabut, langkah pemerintah yang membatasi medsos dianggap tepat. Sebab, langkah tersebut mampu menekan penyebaran konten hoaks.

"Kebebasan berpendapat yang menghasut, memecah belah, memanipulasi informasi bisa dibatasi apalagi saat situasi genting dimana keselamatan bangsa dan negara menjadi taruhannya," kata Staf pengajar Departemen Filsafat Universitas Indonesia Donny Adian Gahral dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (25/5/2019).

Agar tercipta masyarakat yang sehat dan kritis, Donny mengajak pengguna medsos agar tidak mudah memforward informasi dari sumber yang meragukan.

"Agar tidak termakan dengan propaganda agitasi yang tidak masuk akal," katanya.

Sementara pemerhati komunikasi Fetty Azizah menilai, langkah pemerintah mengambil keputusan tegas tersebut layak diapresiasi. Menurutnya, di negara demokrasi seperti Indonesia tanpa ketertiban hanya akan menghasilkan sikap anarki.

"Marak beredarnya video, foto, dan konten lain di sosmed pada kenyataannya tidak bisa dijamin oleh penyedia platform, seperti instagram, facebook, atau Whatsapp, dan lainnya," kata Fetty

Fetty mencontohkan, di beberapa negara maju seperti Jerman dan Singapura sudah mengatur penggunaan medsos. Bagi pengguna yang melanggar peraturan akan dikenakan sanksi hukum.

"Negara harus membuat aturan yang membatasi konten sosmed semata-mata untuk menciptakan ketertiban (order) di sosmed. Jadi untuk alasan menjaga ketertiban umum, memang diperlukan pembatasan-pembatasan," ujarnya.

Menurut Fetty, kebebasan berpendapat dalam iklim berdemokrasi bukan berarti tanpa aturan.

"Demokrasi hanya bisa tegak bila ada rule of law yang menjadi rambu-rambu bagi masyarakat warga," tukasnya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:

30 Berita Hoaks Saat Aksi 22 Mei

Ilustrasi hoax
Ilustrasi hoax (iStockPhoto)

Sebelumnya, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Samuel Abrijani Pangarepan menyebut, ada 30 berita bohong, hoaks, yang tersebar sejak 22 Mei 2019. Berita bohong tersebar melalui 3 platform media sosial besar yakni facebook, instagram, dan twitter.

Samuel merinci, penyebaran hoaks di facebook sebanyak 450 uniform resource locator (url), instagram 581 url, twitter 784 url, dan 1 url melalui LinkedIn.

"Total, hoaks ini disebarkan lewat 1.932 url," kata Samuel saat konferensi pers di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Sabtu (25/5/2019).

Samuel memastikan, pihaknya akan tetap memantau percakapan di media sosial pasca-aksi 22 Mei. Apalagi saat ini, Kemenkominfo sudah mencabut pembatasan media sosial.

Tak luput, ia juga mengingatkan kepada masyarakat agar tidak mengunggah atau menyebarkan konten tanpa adanya klarifikasi.

"Mari kita jaga ruang siber kita, ini adalah lingkungan kita untuk kita beraktivitas," ucap Samuel.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya