Mitos dan Jejak Elang Jawa Merapi yang Sulit Birahi

Berdasarkan data Taman Nasional Gunung Merapi-Merbabu, jumlah elang jawa tinggal 6 ekor.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 29 Feb 2016, 20:30 WIB
Diterbitkan 29 Feb 2016, 20:30 WIB
Elang Jawa
Taman Nasional Gunung Merapi jumlah elang jawa tinggal 6 ekor.

Liputan6.com, Magelang - Pagi beranjak siang. Dengan langkah tegap Jatmiko menyibak hutan di Taman Nasional Gunung Merapi-Merbabu. Aktivis lingkungan Forum Merapi Merbabu Hijau itu sesekali mendongakkan kepala melihat ke langit.

Awan yang menggelayut tak membuatnya ciut. Hutan pinus Jurang Jero yang berada di Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah menjadi sasaran rambahannya. Ia tak sedang mencari perawan gunung ataupun mengumpulkan ranting kayu.

Jatmiko mencari sosok bersayap yang dianggap lebih eksotis dan erotis dibanding gadis desa. "Biasanya kalau pagi dia suka muncul di sini. Daya jelajahnya sangat jauh," ucap Jatmiko kepada temannya, Senin (29/2/2016).

Ternyata, para aktivis lingkungan itu sedang 'berburu' sosok elang jawa. Burung endemik Gunung Merapi yang bernama Latin Spizaetus bartelsi ini menjadi sangat seksi. Selain karena jumlah populasinya yang sedikit, kemunculannya juga tidak pasti di satu tempat.

"Kalau berdasar penjelasan dan pemantauan TNGM, (elang jawa) tinggal 4 ekor. Saya tidak paham kelaminnya. Berapa ekor yang jantan, atau betina," beber Jatmiko.

Jatmiko kemudian menjelaskan, upayanya ini sebagai tindak lanjut monitoring atas kegelisahan menurunnya populasi elang jawa. Aves raksasa itu menjadi sangat seksi di mata aktivis lingkungan, pencinta burung, maupun masyarakat setempat.

Mitos Burung Bangkai

Mbah Kasan, warga Salamsari Kecamatan Srumbung Kabupaten Magelang bercerita, saat dia kecil, kerap diminta menjaga ayam-ayam peliharaan yang sedang beranak. Orang tuanya meminta menjaga dari sambaran wulung atau bido atau alap-alap alias Elang Jawa itu.

"Biasanya yang suka berburu makanan yang jantan. Dulu banyak di sekitar sini, tapi sampai sekarang saya belum pernah lihat ada wulung nyamber ayam," ungkap Mbah Kasan.

Begitulah. Elang Jawa atau akrab disebut bido atau wulung oleh masyarakat lereng Merapi, lekat dengan banyak cerita.

Elang jawa saat mengudara di atas kawasan hutan pinus Jurang Jero, Magelang, Jawa Tengah. (Edhie Prayitno Ige/Liputan6.com)

Bukan hanya dianggap suka menyambar anak ayam, hewan itu kerap pula muncul saat di bagian bawah ada yang berpotensi menjadi bangkai. Bisa berupa pertarungan antarhewan, bisa berupa orang yang akan meninggal. Mitos itu tetap hidup sampai beberapa waktu kemudian, dan menghilang bersamaan dengan menipisnya populasi makhluk seksi itu.

Forum Merapi Merbabu Hijau memastikan masih ada yang bersarang di daerah Plawangan, lereng Merapi bagian selatan. Kendati demikian, daya jelajah Elang Jawa terbilang luar biasa.

"Bisa sampai Kopeng, Salatiga, Boyolali, atau kadang di Merbabu. Namun mereka (elang jawa) tak mau bersarang di Merbabu karena dingin," beber Jatmiko.

Tak Gampang Birahi

Validitas jumlah individu populasi Elang Jawa terjawab oleh pemantauan Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Magelang-Sleman, Balai Taman Nasional Gunung Merapi. Menurut Kasi PTN Wilayah I Balai TNGM, Nurpana Sulaksono, petugas mencatat ada 6 Elang Jawa yang tersebar.

"Satu pasang bersarang di Plawangan, satu pasang di Gemer, Ngargosoka Magelang, dan sepasang lagi di daerah Klaten," papar Nurpana kepada Liputan6.com, Senin (29/2/2016).

Jumlah itu sudah meningkat dibanding tahun 2014 yang hanya 3 ekor. Menurut Nurpana, Elang Jawa tak seperti burung lain, apalagi manusia. Elang Jawa memiliki siklus musim kawin antara 1 hingga 2 tahun sekali. Sekali masuk musim kawin, biasanya hanya menghasilkan 1 atau 2 butir telur.

"Belum lagi kalau perkawinan itu sedarah, seringkali akan gagal menetas saat dierami," kata Nurpana.

Garuda atau elang jawa di Taman Nasional Gunung Merapi-Merbabu, Magelang, Jawa Tengah. (Irwan Yuniatmoko/Balai TNGM)

Lambannya perkembangbiakan Elang Jawa ini diperburuk dengan rusaknya habitat binatang lain yang akhirnya mengganggu telur-telur elang itu. Nurpana kemudian menunjuk monyet ekor panjang atau Macaca fascicularis sebagai primata yang sering mengganggu.

Pada 2012, TNGM menemukan bahwa monyet ekor panjang itu suka mengambil telur-telur Elang Jawa. Mereka melakukan itu karena minimnya stok makanan berupa buah.

"Setelah warga Ngargosoka menanam jambu dan buah lain di atas, monyet-monyet itu tak lagi merusak ladang atau mengganggu telur. Jadi kalaupun gagal dierami, kami menduga karena faktor satu keturunan atau inses," kata Nurpana.

TNGM bisa memastikan 6 ekor Elang Jawa yang tersisa itu adalah 3 pasang. Artinya, 3 jantan dan 3 betina. Hal ini didasarkan pada kebiasaan elang jawa yang selalu mencari makan bersama-sama.

Mereka juga setia dengan pasangannya dan tidak mau kawin dengan elang lain. Sebab jika yang terbang 2 ekor jantan semua, Elang Jawa pasti akan bertarung berebut lahan. Jika betina semua, akan bertarung memperebutkan makanan.

"Itu bisa jadi metafora cinta sejati lho. Bandingkan dengan manusia, atau apa yang dianggap simbol cinta sejati," kata Nurpana.

Elang Jawa adalah Garuda?

Nah, apa hubungan antara Elang Jawa dengan burung garuda yang dijadikan lambang negara?

Burung Garuda sering dianggap sebagai burung mitologi Jawa. Garuda memiliki postur yang gagah dengan jambul di atas kepalanya. Dalam Kitab Adiparwa dijelaskan bahwa Garuda adalah burung yang gagah berani, sehingga dijadikan sebagai lambang panji Dewa Wisnu.

Dalam kitab itu dijelaskan bahwa burung ini tinggal di surga setelah misinya selesai. Ia memiliki misi untuk membebaskan ibunya yang ditahan oleh naga. Berdasarkan cerita budaya di Indonesia, pada abad ke-10 Masehi burung ini mulai menjadi mitologi.

Pada 15 Februari 1950, Presiden Sukarno mengenalkan Burung Garuda sebagai lambang negara kita ke khalayak umum. Dalam buku 'Bung Hatta Menjawab' menjelaskan bahwa awal mula terpilihnya gambar burung Garuda Pancasila dimulai dari sayembara yang dilakukan.

Pada saat itu, terpilih 2 karya terbaik dari Mohammad Yamin dan Sultan Hamid II. Dan pada akhirnya, karya Sultan Hamid II yang dipilih oleh pemerintah dan DPR. Hanya saja, karya Hamid tidak serta merta langsung digunakan sebagai lambang negara Indonesia.

Garuda atau elang jawa di Taman Nasional Gunung Merapi-Merbabu, Magelang, Jawa Tengah. (Irwan Yuniatmoko/Balai TNGM)

Saat itulah terungkap bahwa Burung Garuda adalah elang jawa. Ketika negara, ormas, partai politik menempatkan lambang negara itu di atas segalanya, ternyata kondisinya berbanding terbalik dengan populasi burung ini.

Alih fungsi berbagai hutan sebagai permukiman dan bangunan lain membuat habitat hewan ini menjadi terganggu. Banyak di antara Elang Jawa yang kehilangan sarang dan terpaksa berpindah ke tempat yang bukan habitat mereka.

"(Elang jawa) tinggal di bukan habitat aslinya, atau di habitat yang terlalu ramai tentu berpengaruh pada regenerasinya," tutup Jatmiko.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya