Filosofi Selasa Wage sebagai Hari Libur PKL Malioboro

Setiap Selasa Wage, Malioboro akan beristirahat. Tak ada PKL atau aktivitas jual beli lainnya.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 26 Sep 2017, 20:30 WIB
Diterbitkan 26 Sep 2017, 20:30 WIB
Malioboro
Sultan HB X meninjau kawasan Malioboro pada Selasa Wage. Foto: (Switzy/Liputan6.com)

Liputan6.com, Yogyakarta - Suasana berbeda tampak di Malioboro pada Selasa (26/9/2017). Trotoar di sepanjang barat dan timur Malioboro yang biasanya penuh dengan pedagang kaki lima (PKL) tampak lengang. Tak ada satu pun pedagang yang menggelar dagangannya di sana.

Wisatawan asing dan domestik terlihat berjalan dengan leluasa. Malioboro lebih mirip seperti kota mati, tanpa hiruk pikuk transaksi jual beli di tepi jalannya.

Ini pertama kalinya Malioboro kosong dari pedagang. Selasa Wage dipilih para pedagang untuk beristirahat dari aktivitasnya sesuai dengan program Pemerintah Kota Yogyakarta. Pemilihan Selasa Wage pun tidak sembarangan, hari pasaran Jawa itu bertepatan dengan hari lahir Sultan HB X.

"Sebenarnya ini program lama, baru sekarang dilaksanakan, dan kami sosialisasi ke komunitas, teman-teman setuju," ujar Sukidi, ketua Komunitas Paguyuban Pedagang Lesehan Malioboro (PPLM).

Suasana lengang Malioboro saat PKL meliburkan diri. Foto: (Switzy/Liputan6.cm)Kesepakatan itu dibuat karena pedagang juga ingin Malioboro beristirahat dan terlihat beda dari biasanya. Malam sebelum libur,  pedagang mengadakan ronda dan pada pagi hari menggelar kerja bakti massal.

Mengingat hal ini sudah menjadi kesepakatan, maka Sukidi pun meyakini para pedagang tidak keberatan kehilangan omzet satu hari yang berkisar Rp1 sampai Rp1,5 juta.

Ia menyebutkan ada banyak paguyuban di Malioboro, mulai dari pedagang, tukang becak, andong, dan sebagainya. Total PKL di kawasan itu mencapai 2.000 orang.

Sukidi berharap, apabila ada penataan PKL mereka bisa ditempatkan di sirip-sirip Malioboro atau gangguan yang berada di sekitar kawasan itu. "Jangan jauh dari Malioboro," ucapnya.

Wali Kota Yogyakarta, Haryadi Sudut menuturkan, pengosongan PKL pada Selasa Wage menjadi kegiatan rutin yang dilakukan setiap 35 hari sekali dan  berdasarkan kesepakatan pedagang.

"Kami mengapresiasi pedagang yang berkenan libur, karena kami diberi kesempatan untuk membersihkan gorong-gorong dan sejenisnya sehingga Malioboro lebih nyaman untuk dikunjungi," kata Haryadi.

Ia mengatakan, Selasa Wage juga bisa dimanfaatkan wisatawan untuk berswafoto di Malioboro tanpa terganggu pedagang.

Haryadi juga berharap suasana lengan Malioboro dapat dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan kesenian maupun kegiatan masyarakat sehingga membuat kawasan ini tetap hidup.

Saat melakukan peninjauan, Gubernur DIY Sultan HB X mengatakan, kota Yogyakarta menjadi cermin ibukota provinsi. Ia mengaku menikmati trotoar Malioboro yang kosong dari PKL.

"Tetapi prinsipnya, harus ada jalan keluar bagaimana pedagang tetap bisa berjualan tetapi tidak harus semua stok dikeluarkan dan memakan tempat," kata Sultan.

Ia juga menegaskan program ini dibuat tidak untuk menghilangkan PKL yang berada di tengah Malioboro. "PKL itu kekuatan Malioboro," tuturnya.

Kendati demikian, penataan tetap diberlakukan bagi PKL yang berada di selatan Pasar Beringharjo. Rencananya, bekas gedung bioskop Indra menjadi tempat relokasi.

Maria Ranti (28), salah satu pengunjung Malioboro merasa terkejut dengan perubahan suasana di pusat kota Yogyakarta itu. Di satu sisi, ia senang karena Malioboro tampak bersih.

"Tapi di sisi lain susah kalau beli minum yang biasanya tinggal ke tepi jalan," kata Ranti. Ia menilai, seharusnya kegiatan ini disosialisasikan ke masyarakat lebih dulu sebelum dijalankan.

Saksikan video pilihan berikut ini!

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya