6 Februari 1925: Menandai 100 Tahun Kelahiran Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer terkenal sebagai pengarang novel 1940-an, seperti Keluarga Gerilya dan Perburuan. Dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora, namanya tertulis Pramoedya Ananta Mastoer.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 06 Feb 2025, 16:00 WIB
Diterbitkan 06 Feb 2025, 16:00 WIB
Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya

Liputan6.com, Yogyakarta - Pramoedya Ananta Toer, dikenal juga dengan nama Pram, masih memiliki nama besar sebagai sastrawan Indonesia hingga sekarang. Pada 6 Februari 2025, menandai 100 tahun kelahiran sang sastrawan besar Tanah Air.

Mengutip dari Ensiklopedia Sastra Indonesia, Pram lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 6 Februari 1925. Meski telah meninggal dunia pada 30 April 2006, karya-karyanya masih tetap hidup dan kerap menjadi perbincangan hingga kini.

Pramoedya Ananta Toer terkenal sebagai pengarang novel 1940-an, seperti Keluarga Gerilya dan Perburuan. Dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora, namanya tertulis Pramoedya Ananta Mastoer.

Mastoer merupakan nama keluarga dari nama ayahnya. Namun, karena dirasa terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa, Mas, dari nama tersebut.

Dalam lingkungan keluarga, ia dipanggil sebagai Mas Moek karena menjadi anak sulung dari delapan bersaudara. Nama belakang Toer kemudian menjadi nama keluarga, yakni Pradito Toer, Koenmarjatoen Toer, Oemisapatoen Toer, Koesaisah Toer, Koesalah Soebagyo Toer, Soesilo Toer, dan Soesetyo Toer.

Pramoedya Ananta Toer menamatkan sekolah di Institut Boedi Oetomo di Blora dan sekolah teknik radio Surabaya. Pada Mei 1942, ia meninggalkan Rembang dan Blora ke Jakarta dan bekerja di Kantor Berita Domei.

Sambil bekerja, ia mengikuti pendidikan di Taman Siswa (1942-1943), kursus di Sekolah Stenografi (1944-1945), kemudian menempuh kuliah di Sekolah Tinggi Islam Jakarta (1945) untuk mata kuliah Filsafat, Sosiologi, dan Sejarah. Pada 1945, ia keluar dari Kantor Berita Domei dan pergi menjelajahi Pulau Jawa.

Saat kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, ia sedang berada di Kediri. Kemudian pada 1946, ia ikut menjadi prajurit resmi hingga mendapat pangkat Letnan II Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang ditempatkan di Cikampek, dengan sekutu Front Jakarta Timur.

Pada 1947, ia kembali ke Jakarta melalui penyusupan. Sayangnya, ia ditangkap militer Belanda yang berada di Cipinang.

Pada 22 Juli 1947, ia ditangkap marinir Belanda karena menyimpan dokumen gerakan bawah tanah menentang Belanda. Hingga 1949, ia dipenjarakan tanpa diadili di penjara Bukit Duri.

Setelahnya, ia bekerja sebagai redaktur Balai Pustaka pada 1950-1951. Pada 1950, ia menerima hadiah sastra dari Balai Pustaka atas novelnya yang berjudul Perburuan.

 

Menikah

Pada tahun yang sama, ia menikah dengan Husni Thamrin. Ia adalah wanita yang sering datang ke penjara ketika Pram berada di penjara dan masih keluarga dekat.

Pada 1952-1954, Pram mendirikan dan memimpin Literary dan Features Agency Duta. Ia sempat pergi ke Belanda sebagai tamu Sticusa (Yayasan Belanda Kerja Sama Kebudayaan) pada 1953.

Pada 1956, ia berkunjung ke Peking, Tiongkok, untuk menghadiri peringatan hari kematian Lu Shun. Selanjutnya pada 1958, Pram masuk anggota Pimpinan Pusat Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) yang berada di bawah naungan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Keterlibatannya dengan Lekra mempertemukannya dengan seniman golongan lain yang tak sealiran, terutama kelompok seniman penanda tangan Manifesto Kebudayaan (Manikebu) yang menentang PKI. Selanjutnya pada 1962, ia menjabat sebagai redaktur Lentera sekaligus bekerja sebagai dosen di Fakultas Sastra Universitas Res Publika, Jakarta, sebagai dosen Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai.

Pecahnya G30S menyisakan kenangan pahit dalam kehidupan Pramoedya Ananta Toer. Penangkapan pada 13 Oktober 1965 membuatnya mendapat penghinaan dan perlakuan kejam.

Pendengarannya rusak karena dipukul dengan tommygun pada bagian kepalanya. Setelahnya, ia dipenjarakan di Tangerang, Salemba, Cilacap, dan selama sepuluh tahun ia hidup dalam pengasingan di Pulau Buru.

Selepas dari pengasingan di Pulau Buru, Pram menghasilkan beberapa buku yang pada umumnya dilarang oleh Kejaksaan Agung. Namun, buku-bukunya justru terbit dan beredar luas di luar negeri dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa asing, terutama bahasa Inggris dan Belanda. Beberapa judul bukunya itu adalah Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988), Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995) II (1996), Arus Balik (1995), Arok Dedes (1999), dan Larasati (2000).

Beberapa tahun terakhir, sejumlah buku yang semula dilarang beredar oleh Kejaksaan Agung diterbitkan kembali oleh penerbit Hasta Mitra, di antaranya Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, serta buku-buku Pramoedya yang ditulis pada 1950-an, seperti Cerita dari Blora, Perburuan, Korupsi, Keluarga Gerilya, dan Panggil Aku Kartini Saja.

Sepanjang kariernya, Pramoedya Ananta Toer memperoleh 16 penghargaan, antara lain Penghargaan Balai Pustaka (1951), Hadiah Magsaysay dari Filipina (1995), penghargaan PEN International (1998), gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan (1999), Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka) di Jepang (2000), dan Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia (2004). Pram juga merupakan satu-satunya sastrawan Indonesia yang berhasil masuk nominasi Nobel Sastra sebanyak enam kali.

Penulis: Resla

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya