Ritual Tolak Bala Penyetop Kematian Ganjil di Gligir Sapi

Ritual tolak bala sempat dihentikan selama beberapa waktu. Secara bersamaan, kematian tak wajar kembali terjadi di Gligir Sapi.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 06 Okt 2017, 09:00 WIB
Diterbitkan 06 Okt 2017, 09:00 WIB
Ritual Tolak Bala untuk Hentikan Kematian Ganjil di Gligir Sapi
12 orang mengarak sapi yang telah dipotong ke lokasi ritual selamatan. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Purbalingga – Ratusan orang berkerumun nyaris tanpa suara kala ritual tolak bala dimulai dengan memotong seekor sapi berukuran sedang. Sapi itu dililit kain mori dan dihiasi untaian kembang kantil dan mawar yang diletakkan di punggungnya.

Lalu, 12 pria dewasa dengan sigap memindah sapi yang telah dipotong itu ke perangkat angkut semacam keranda. Sapi itu diposisikan sedemikian rupa, layaknya sapi yang tengah bersideku (bagian punggung di atas).

Mereka mengaraknya menuju tempat ritual berikutnya di dusun bagian bawah, di depan masjid. Sementara, ratusan warga Dusun Gligir Sapi, Desa Arenan, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga,Jawa Tengah, dengan tertib mengekor di belakang sapi itu.

Pada Rabu, 4 Oktober 2017, ratusan warga Dusun Gligir Sapi, menggelar ritual tolak bala winduan untuk keselamatan masyarakat kampungnya. Ritual itu telah digelar selama puluhan tahun sejak leluhur mereka mendiami Grumbul Gligir Sapi.

Tokoh masyarakat setempat, Hamidi mengatakan, upacara tolak bala itu tak lepas dari kisah kematian-kematian misterius yang terjadi pada masa lalu. Pada pada masa lalu, Grumbul Gligir Sapi atau punggung sapi itu merupakan tempat hewan-hewan raja yang dibuang atau dipendam. Ketika sudah menjadi perkampungan, kerap terjadi kematian beruntun dengan sebab-sebab tak wajar.

Hamidi menceritakan, kematian tak wajar itu antara lain, mati gantung diri, tersambar petir, jatuh dari pohon kelapa, hingga terjangkit muntaber. Bahkan suatu ketika, pernah terjadi liang lahat belum selesai dibuat, sudah ada warga lainnya yang meninggal.

"Meninggalnya juga secara tiba-tiba. Meninggal dengan penyebab tidak wajar," dia menerangkan.

Para tetua dan tokoh masyarakat lantas berembuk untuk menghentikan musibah itu. Lewat seorang tetua, didapati wangsit bahwa mereka harus menggelar ritual tolak bala berupa potong sapi. Kepala sapi, punggung, ekor, dan kaki, dipendam di empat penjuru kampung.

"Supaya musibah ini berhenti, supaya dipotongkan sapi. Setidaknya setiap satu windu sekali, hitungan waktunya adalah delapan tahun sekali," katanya.

Dia mengakui, tradisi ini sempat terhenti selama 10 tahun sejak 2007. Tetapi sekitar tiga bulan lalu, ada seorang warga pendatang yang bunuh diri. Itu sebab seluruh tokoh masyarakat kembali mendorong agar warga kembali menggelar tradisi yang sudah dilakukan turun-temurun ini.

Bagi warga, kematian tak wajar itu dianggap sebagai teguran agar mereka segera menjalankan tradisi yang dilakukan sejak zaman kakek moyang. "Bukan orang sini, tapi meninggal gantung diri. Dia ada masalah keluarga, mungkin frustrasi," ujarnya.

Ritual dilanjutkan keesokan harinya, bertepatan dengan Kamis malam Jumat dengan selamatan atau doa bersama. Jumatnya, tulang sapi dipendam sebagai perlambang memendam bagian sapi sebagai upacara sedekah bumi.

"Diteruskan oleh anak-anak kita, zaman sekarang, dialihkan, biar kesannya bukan untuk persembahan. Maka diteruskan dengan pengajian dan selamatan," dia memungkasi.

Saksikan video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya