Menjelajah Jejak Komunitas Tionghoa di Bandung

Historical Trips, sebuah kegiatan wisata sejarah di Bandung melaksanakan kegiatan tur jalan kaki menelusuri jejak-jejak komunitas Tionghoa yang tersisa di Kota Bandung.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 21 Okt 2018, 12:00 WIB
Diterbitkan 21 Okt 2018, 12:00 WIB
Jelajah Tionghoa Bandung
Rombongan peserta tur jejak komunitas Tionghoa di Bandung menyimak pemaparan Sugiri Kustedja. (Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Historical Trips, komunitas kegiatan wisata sejarah di Bandung, melaksanakan kegiatan tur jalan kaki menelusuri jejak-jejak komunitas Tionghoa yang tersisa di Kota Bandung, Sabtu (20/10/2018).

Dipandu khusus dengan narasumber yaitu Sugiri Kustedja, penulis buku Klenteng Xie Tian Gong & 3 Liutenant Tionghoa di Bandung, acara ini diikuti sekurangnya oleh 36 peserta yang berasal dari Bandung dan Jakarta.

Wisata sejarah ini bertujuan untuk mengunjungi dan mensosialisasikan peninggalan budaya Tionghoa yang masih tersisa di Kota Bandung sebagai warisan budaya yang tidak terpisahkan dari sejarah Kota Bandung.

Perjalanan dimulai dengan mengunjungi Rumah Sakit Kebon Jati. Berdiri sejak 1946, rumah sakit ini didirikan oleh dr. Tan Ping Ie. Ia selaku Direktur pertama RS I Yen (kini RS Kebon Jati).

Awalnya, rumah sakit bernama RS Chung Hua Ie Yuen bernaung dibawah Yayasan Chung Hua Chung Hui. Para pendirinya ialah dokter-dokter Tionghoa bersama para tokoh lainnya.

Menurut penuturan Pak Sugiri, direktur pertama rumah sakit ini, dr. Tan Ping Ie dulunya membuka praktek dan tinggal di Jalan Wastukencana. Tempat itulah yang menjadi cikal bakal RS Kebon Jati.

"Saya lahir di rumah sakit ini, tapi waktu itu lokasinya di Jalan Wastukencana. Selain dokter obgyn, kata teman-teman saya yang seusia, dia itu (Tan Ping Ie) adalah dokter bedah," tutur Sugiri.

Selama di areal RS Kebon Jati, rombongan sempat melihat-lihat dan mendokumentasikan bangunan. Dari rumah sakit, rombongan diajak mengunjungi rumah duka Permaba. Tempatnya sejajar dengan Rumah Sakit Kebon Jati.

Jika ada orang Tionghoa yang meninggal, mereka datang melayat ke tempat ini. Selain itu, Permaba yang juga kepanjangan dari Perhimpunan Sosial Masyarakat Bandung merupakan yayasan yang didirikan untuk membantu mereka yang tidak mampu.

Setelah menceritakan rumah duka, Sugiri lantas bercerita tentang Gedung Permaba yang berada di belakang kompleks klenteng tertua di Bandung, Vihara Satya Budhi. Saat ini bangunan tersebut disebut sebagai wisata kontemporer bernama Chinatown.

Rombongan kemudian menelusuri jejak budaya Tionghoa yang masih tersisa berupa sekolah. Mulai dari SMA Pasundan 7 yang berada di Jalan Kebon Jati hingga SD Negeri 092 Cibadak.

Menyusuri Cerita Roman

Jelajah Tionghoa Bandung
Hotel Surabaya yang termut dalam roman Rasia Bandoeng. (Huyogo Simbolon)

Para peserta tur semakin bersemangat berjalan kaki. Ini tak lain karena tur sejarah kali ini terkait dengan kisah dalam sebuah roman berjudul Rasia Bandoeng yang terbit pada tahun 1917.

Mereka tiba di depan bangunan kuno tepatnya di Jalan Kebon Jati. Tidak ada penanda soal bangunan ini kecuali desain bangunannya yang klasik.

Pak Sugiri kemudian mengatakan bahwa bangunan yang ada di hadapan peserta dulunya bernama Hotel Surabaya. Tempat penginapan yang sudah berusia ratusan tahun ini merupakan salah satu lokasi yang diceritakan novel Chabanneau.

Chabanneau, nama pena sang penulis buku mengisahkan tentang sepasang muda mudi Tionghoa yang jatuh hati dan kawin lari. Ia menyamarkan nama-nama tokoh di novel, namun inisial yang digunakan tetap sama.

Chabanneau menulis kisah tentang Tan Gong Nio (Hilda Tan) dan Tan Tjin Hiauw. Kisah cinta keduanya terbilang tidak biasa karena berasal dari marga yang sama. Pada masa itu budaya tradisonal Tionghoa masih sangat kental, sehingga bila ada pernikahan sesama marga dikhawatirkan akan menghasilkan kecacatan dalam keturunannya.

Masih menurut kisah novel itu, keduanya melarikan diri menikah di Singapura. Lalu kembali menetap di Cirebon dan Semarang.

"Jadi Hotel Surabaya ini adalah salah satu bangunan yang digambarkan dalam roman Rasia Bandoeng," kata Sugiri.

Bangunan ini jika diperhatikan memang sangat unik karena memiliki gaya arsitektur gabungan antara romanticism dan gaya arsitektur Tiongkok. Terdapat ciri utama dari hotel yang dibangun oleh Boen Soei Tjoe yaitu ornamen dua puncak pada muka bangunan.

Selain itu terdapat sebuah menara di salah satu sudut bangunan, kaca patri berwarna-warni dan tembok berwarna putih. Sekarang bangunan ini milik perusahaan Kagum, menjadi Hotel Gino Ferucci.

"Menurut cerita keluarga pembangunnya, bangunan ini dibangun oleh Boen Soei Tjoe, ahli bangunan yang membangun Kelenteng Xie Tian Gong dan juga Gedung Pakuan (Gubernur)," tutur Sugiri.

Seusai berkeliling hotel, rombongan kemudian mengunjungi beberapa vihara di Jalan Cibadak. Dari rumah peribadatan, perjalanan dilanjutkan dengan menelusuri jejak budaya Tionghoa yang masih tersisa di Jalan Jenderal Sudirman.

Rumah Kuno hingga Pabrik Tahu

Jelajah Tionghoa Bandung
Pak Sugiri menceritakan rumah di Jalan Jenderal Sudirman. (Huyogo Simbolon)

Siang itu jalanan cukup ramai. Jalur satu arah dari arah Asia Afrika ini memang dikenal sebagai lokasi pemukimn kaum Tionghoa di Bandung.

Hal yang menarik dari perjalanan ini lagi-lagi adalah sebuah tempat yang dulunya merupakan sebuah rumah yang dihuni oleh Tan Sim Tjong, kakek dari tokoh Tan Tjin Hiauw, tokoh dalam roman Rasia Bandoeng.

Pak Sugiri mencoba mengarahkan para peserta soal letak rumah Tan Sim Tjong yang berada di depan rumah kapiten Tionghoa yang menjabat sebagai opsir tahun 1888-1917. Rumah tersebut, kata Sugiri, memiliki taman di tengah rumah yang luas dan asri.

Saat ini kepemilikan rumah sudah berbeda dan dipotong-potong menjadi paviliun. Keluarga Tan Sim Tjong sering menanam pohon jeruk sehingga kawasan ini dikenal sebagai Kebun Jeruk. Bahkan kini menjadi nama kelurahan di kawasan tersebut.

"Dulu di daerah Citepus, dari sebelah sekolah kristen itu, nama gangnya Tan Sim Tjong. Rumah (Tan) besar dan mirip seperti Gedung Pakuan atau rumah gubernur. Tapi sejak tahun lalu rumah dibongkar," kata Sugiri.

Tidak lupa, perjalanan menelusuri jejak komunitas Tionghoa di Kota Bandung ini mencatat peninggalan budaya kuliner khas Tionghoa yang menarik salah satunya Pabrik Tahu Telaga (Yun Sen).

Setelah menyempat berbelanja tahu, rombongan kemudian diajak ke industri kerajinan Tionghoa di Gang Ibu Aisah. Sentra industri di sini menyediakan kerajinan tangan berupa replika benda-benda yang biasa dipakai untuk ritual orang Tionghoa.

Vihara Dharma Ramsi yang terletak di sampingnya tak lupa untuk dikunjungi. Sebetulnya masih banyak sekali jejak komunitas Tionghoa di Bandung yang belum terkunjungi dalam perjalanan kali ini.

Namun perjalanan ini membuat mata para peserta terbuka bahwa eksistensi etnis Tionghoa punya kontribusi yang tidak bisa diabaikan dalam perkembangan dan sejarah Kota Bandung.

Menghargai Perbedaan

Jelajah Tionghoa Bandung
Peserta jelajah tur komunitas Tionghoa sedang mendengarkan pemaparan Pak Sugiri di Vihara Dharma Ramsi. (Huygoo Simbolon)

Pak Sugiri mengakui, tur kali ini belum sepenuhnya mengenalkan kebudayaan Tionghoa di Bandung. Pria berusia 71 tahun ini mencontohkan, kawasan ekonomi belum terlalui karena terbatasnya waktu.

"Perjalanan ini lebih banyak sejarah pembangunan, industri, kepercayaan, dan pendidikan. Kalau ekonomi dan perdagangan harus muter ke Pasar Baru," kata dia.

Beliau berharap, dengan adanya tur ini masyarakat jadi lebih mengenal budaya Tionghoa di Bandung.

"Orang cuma tahunya heritage (cagar budaya) itu warisan budaya. Kenapa suatu tempat itu dihargai harus tahu ceritanya. Misalnya, bicara kepercayaan, kenapa ada ibadah seperti menghormati patung. Umat di sini itu bukan menghormati patungnya tapi prestasi dan kehidupan yang menurut catatan sejarah itu memang benar-benar ada," paparnya.

Kota Bandung sejak dulu dianugrahi penduduk dari beragam suku dan etnis. Di dalamnya terdapat berbagai warga mulai dari orang lokal, Eropa, Arab, India dan juga etnis Tionghoa.

Kehadiran mereka memberikan warna pada perkembangan kota yang menjadi jantung ibu kota provinsi Jawa Barat ini.

Mia Maksum (52), salah satu peserta mengatakan, tur ini memberikan pengalaman baru.

"Kita kan biasanya lewat jalan sini biasa saja, tahunya cuma daerah orang-orang Tionghoa. Dengan ikut tur ini saya jadi tahu kenyataan kehidupan mereka seperti apa. Setelah diterangkan tadi, kita jadi lebih menghargai budaya yang ada," ungkapnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya