Terbukti Makar, Aktivis dan Mahasiswa Papua Divonis 10-11 Bulan Penjara

Hakim memaklumi reaksi aparat keamanan membubarkan demonstran sekaligus menjerat aktivis dengan pasal makar

oleh Abelda RN diperbarui 18 Jun 2020, 08:30 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2020, 08:30 WIB
Sidang dugaan makar aktivis dan mahasiswa Papua dilakukan secara daring. (Foto: Liputan6.com/Abelda Gunawan)
Sidang dugaan makar aktivis dan mahasiswa Papua dilakukan secara daring. (Foto: Liputan6.com/Abelda Gunawan)

Liputan6.com, Balikpapan - Tujuh orang aktivis dan mahasiswa Papua terbukti melanggar ketentuan pasal makar diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP). Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan Kalimantan Timur (Kaltim) menjatuhkan vonis hukuman penjara 10 hingga 11 bulan pada masing masing terdakwa.

“Terdakwa terbukti melakukan makar secara bersama sama dan dijatuhi hukuman penjara 10 bulan,” kata Majelis Hakim Sutarno saat memimpin persidangan terdakwa Irwanus Uropmabin di Balikpapan, Rabu (17/6/2020).

Dalam putusannya, Sutarno menyatakan, orasi terdakwa mengajak masyarakat Papua menggelar referendum keluar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selama jalannya aksi, terdakwa pun membawa Bendera Bintang Kejora simbol kedaulatan Negara Papua Barat.

“Pemahaman kasus makar tidak harus dibuktikan dalam bentuk serangan fisik. Sebagai bentuk ide juga bisa dikategorikan masuk bentuk makar,” dia menegaskan.

Hakim memaklumi reaksi aparat keamanan membubarkan demonstran sekaligus menjerat aktivis dengan pasal makar. Hakim berpendapat, negara berhak melindungi keutuhan negara baik dari ancaman dalam maupun luar negeri.

“Mengacu Keputusan Majelis Konstitusi dalam memahami ketentuan pasal makar. Pemahaman soal makar, kalau terlambat akan berakibat fatal,” ujar Sutarno.

Di tempat terpisah, tiga mahasiswa lainnya pun sedang menghadapi tuntutan sama. Mereka adalah; Ferry Kombo (Universitas Cendrawasih), Hengki Hilapok dan Alexander Gobai (USTJ). Hakim Balikpapan menjatuhkan vonis yang sama masing masing 10 bulan penjara.

Sedangkan tiga aktivis hak asasi manusia (HAM) Papua memperoleh hukuman sedikit lebih berat, 11 bulan penjara. Mereka adalah Buchtar Tabuni (United Liberation Movemnet for Papua), Agus Kossay dan Stevanus Itlay dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Pantauan wartawan, para terdakwa serta penasehat hukum terlihat bahagia sesaat menerima putusan hakim ini. Vonis ini sedikit mengejutkan mengingat jaksa penuntut umum (JPU) menuntut hukuman tinggi berkisar 10 hingga 17 tahun penjara.

 

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Respons Terdakwa

Sidang dugaan makar aktivis dan mahasiswa Papua dilakukan secara daring. (Foto: Liputan6.com/Abelda Gunawan)
Sidang dugaan makar aktivis dan mahasiswa Papua dilakukan secara daring. (Foto: Liputan6.com/Abelda Gunawan)

Salah satunya seperti disampaikan Buchtar Tabuni menyampaikan puji syukur atas jatuhnya vonis hakim. Apalagi seperti diketahui, ia merupakan terdakwa mendapat tuntutan terberat hingga 17 tahun penjara.

“Terima kasih atas vonis hukuman ini majelis hakim,” paparnya.

Meski begitu, kepada hakim, Buchtar menilai vonisnya tetap belum mencerminkan rasa keadilan. Ia keukeh merasa tidak bersalah atas semua tuduhan jaksa.

“Saya tidak pernah merasa bersalah seperti dituduhkan, sehingga akan pikir pikir dengan vonis ini,” ujarnya.

Perwakilan tim kuasa hukum Fahtul Huda Wiyashadi tetap menghargai vonis hukuman sudah dijatuhkan hakim. Menurutnya, hakim sudah memberikan rasa keadilan dengan mempertimbangkan bukti bukti dan keterangan saksi tim pembela.

“Karena kalau (hakim) lebih memihak jaksa, dikhawatirkan (vonisnya) berdampak buruk terhadap seluruh Indonesia,” ujarnya.

Namun di sisi lain, Fathul tentunya tetap menyerahkan seluruh keputusan hukum pada terdakwa. Apakah menerima vonis hakim atau menolak dengan pengajuan banding. Pengadilan memberikan batas waktu tujuh hari bagi terdakwa dan JPU.

“Menjadi keputusan terdakwa apakah menerima atau menolak vonis hakim,” ucap Fathul.

Selama jalannya persidangan, puluhan mahasiswa Balikpapan menggelar aksi damai di pelataran PN Balikpapan. Dalam penjagaan Polisi, mahasiswa menggelar orasi tuntutan pembebasan seluruh jeratan hukum.

Massa pun membentangkan spanduk sebagai bentuk perlawanan.

Persidangan kasus Papua dilakukan daring memanfaatkan aplikasi teknologi Zoom. Seluruh pihak berkepentingan dihadirkan guna menyaksikan jalannya proses persidangan.

Persidangan ini pun memperoleh perhatian luas khususnya masyarakat Papua. Puluhan penonton daring memadati laman akun Zoom sidang PN Balikpapan.

Masyarakat tertarik memantau langsung pembacaan vonis para aktivis dan mahasiswa Papua. Tujuh terdakwa terjerat pasal makar pascakerusuhan di Papua.

 

Rasa Keadilan

Sidang dugaan makar aktivis dan mahasiswa Papua dilakukan secara daring. (Foto: Liputan6.com/Abelda Gunawan)
Sidang dugaan makar aktivis dan mahasiswa Papua dilakukan secara daring. (Foto: Liputan6.com/Abelda Gunawan)

Kerusuhan bermula saat mahasiswa menggelar demonstrasi berkekuatan 10 ribu massa di Jayapura. Mereka memprotes hinaan rasis sudah diterima mahasiswa Papua di Surabaya Jawa Timur (Jatim).

Namun aksi demo berujung liar dengan merusak fasilitas publik dan rumah warga.

Sehingga, Polisi akhirnya menuduh aksi demo berafiliasi langsung KNPB. Organisasi ini merupakan kelompok memperjuangkan referendum kemerdekaan Papua Barat.

Aparat kepolisian menangkap Agus Kosai dan Buchtar Tabuni berikut mahasiswa Uncen dan USTJ. Mereka dipindahkan ke Balikpapan dengan alasan keamanan

Setidaknya 38 orang dituduh melakukan tindakan makar dalam berbagai demonstrasi. Kerusuhan Papua meninggalkan 40 korban jiwa berikut harta benda masyarakat.

Disaat bersamaan, Amnesty International Indonesia menyelenggarakan orasi online bertema #PapuanLivesMatter di Jakarta siang ini. Acara ini menuntut keadilan bagi tujuh aktivis Papua terjerat tuduhan makar.

Presiden Joko Widodo diminta turun langsung membebaskan terdakwa dari segala tuduhan.

"Kami mendesak pihak berwenang untuk membebaskan tahanan nurani asal Papua dengan segera dan tanpa syarat," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Tuduhan makar beserta aktivis Papua telah menarik perhatian publik. Apalagi sentimen global terhadap rasisme sedang meningkat.

“Fery dan tahanan nurani Papua lain yang berekspresi secara damai untuk menentang tindakan rasis tidak seharusnya dikriminalisasi," ujar Usman Hamid.

Amnesty International Indonesia mengajak seluruh lapisan masyarakat ikut menyuarakan keadilan bagi warga Papua. Ia mendesak pemerintah melindungi kebebasan berekspresi dan hak asasi setiap warganya.

Orasi online akan disiarkan secara langsung melalui Twitter. Perwakilan kelompok masyarakat lintas agama menyuarakan pendapat tentang isu kebebasan ekspresi, berserikat dan berkumpul. Selain itu juga tentang kesenjangan vonis peserta aksi antirasisme Papua dan pelaku tindakan rasis.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya