Kabut Asap dan Kekeringan Menghantui Warga Jambi

Musim kemarau membuat warga Jambi dihantui bencana ekologis, seperti kabut asap dan kekeringan.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 09 Agu 2024, 00:00 WIB
Diterbitkan 09 Agu 2024, 00:00 WIB
Sungai Batanghari Surut
Foto aerial kondisi sedimentasi Sungai Batanghari di Penyengat Rendah, Kota Jambi, Jumat (2/8/2024). Musim kemarau ini telah membawa dampak berkurangnya debit air Batanghari. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi - Aprilia memutar kran air di kamar mandi, setelah seharian masker rambut membungkus kepalanya. Kran telah dibuka, namun air tak kunjung mengalir. Niat membilas rambutnya pun urung.

"Astaga air habis," kata Aprilia, Rabu (7/8/2024).

Sumur di rumah Aprilia kering, sebab hujan sudah sebulan ini tidak kunjung membasahi Kota Jambi. Dia pun harus menunggu dua jam agar air kembali terisi. Ativitas pagi hari itu harus tertunda.  

Musim kemarau yang dihadapi oleh masyarakat Kota Jambi telah membawa ketiadaan air untuk aktivitas mandi, cuci kakus. Belum lagi saat kemarau tiba, sebagian besar penduduk Jambi dihantui bencana kabut asap. 

Tak haya di ibu kota Provinsi Jambi. Bergeser ke Kabupaten Muaro Jambi, musim kemarau di daerah ini telah menyulut api dan menyebabkan kebakaran. Daerah yang sebagian besarnya merupakan lahan gambut, mengering dan rentan mengalami kebakaran.

“Luas lahan yang terbakar berdasarkan analisis citra satelit sentinel 2 yang dilakukan oleh Tim GIS KKI Warsi yaitu seluas 357 ha lahan dan hutan. Berdasarkan sebarannya terjadi di areal gambut dan tanah mineral yang terindikasi ada konflik lahan,” kata Adi Junedi Direktur KKI Warsi.

Tahun ke tahun, saat musim kemarau kebakaran hutan dan lahan terus berulang terjadi di Provinsi Jambi. Kejadian tahun ini dan tahun sebelumnya menjadi catatan buruk dalam pengelolaan hutan di Provinsi Jambi, yang terus mengalami degradasi dari tahun ke tahun.

Pada tahun 2015 dan 2019 kebakaran hutan dan lahan telah menyebabkan kabut asap sangat pekat. Bencana kabut asap itu bahkan telah melumpuhkan penerbangan, perekonomian terpuruk, dan kesehatan masyarakat sangat terganggu.

Provinsi Jambi kehilangan hutan sebanyak 73 persen dalam 50 tahun terakhir. Catatan KKI Warsi, pada 1973 tutupan hutan Jambi tercatat 3,4 juta hektare. Namun pada 2023, tutupan hutan di Jambi hanya tinggal 922.891 hektare. Kehilangan ini awalnya disebabkan perubahan kawasan hutan menjadi areal penggunaan lain, pemukiman, dan perkebunan. 

Saat ini, kebakaran hutan dan lahan terus mengancam kawasan hutan tersisa. Kebakaran hutan di Jambi hampir selalu diakibatkan oleh ulah manusia sebagai bagian dari upaya pembukaan lahan, namun menyebar di luar kendali karena cuaca kering dan panas, dan diperburuk dengan perubahan iklim.

“Hutan menjadi salah satu benteng terakhir kita dalam mengendalikan dampak perubahan iklim. Namun, juga menjadi faktor yang memperburuk perubahan iklim apabila terus mengalami kebakaran,” kata Adi Junedi. 

Kebakaran hutan merupakan penyumbang utama emisi karbon global dan menyebabkan pemanasan melalui efek rumah kaca. Apabila terus terjadi kebakaran hutan, emisi yang dihasilkan akan semakin banyak sehingga memicu pemanasan global dan peningkatan suhu atau yang disebut dengan perubahan iklim. 

Pun sebagai sesuatu yang berkelindan dan berkait, perubahan iklim pun memperparah terjadinya kebakaran hutan. Badai dan peningkatan suhu membuat kebakaran hutan sulit dikendalikan.

Stasiun Klimatologi Jambi di Kabupaten Muaro Jambi mencatat bahwa perubahan iklim sudah nyata terjadi. Pada tahun 2023 suhu absolut maksimum atau absolut maximum temperatur (TXx) di daerah ini mencapai 36.1 derajat celcius.  

Sementara di Kota Jambi rata-rata suhu maksimal mencapai 36.4 derajat Celsius. Kabupaten Kerinci--daerah daratan tinggi Bukit Barisan rata-rata suhu maksimal mencapai 32.8 derajat Celsius.

“Kondisi hari ini kita terjepit oleh perubahan iklim. Kebakaran hutan menyebabkan perubahan iklim. Begitupun sebaliknya, satu-satunya upaya kita adalah menjaga hutan yang tersisa saat ini agar tidak mengalami kebakaran,” kata Adi Junedi.

Jaga Hutan, Jaga Iklim Kita

Deforestasi Hutan Jambi
Kondisi deforasti hutan di Kabupaten Tanjungjabung Barat, Jambi yang akan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Di sisi lain kata Juned--sapaan akrab Adi Junedi, upaya-upaya untuk menumbuhkan hutan harus terus didukung. Pada hari hutan Indonesia yang diperingati setiap 7 Agustus ini menjadi refleksi untuk terus menjaga hutan yang tersisa.  

“Momen hari hutan ini menjadi kesempatan untuk kita saling mengingatkan bahwa perubahan iklim dan bahayanya di depan mata. Karena itu mari kita jaga dan menumbuhkan hutan kita,” kata Adi Junedi. 

Karena itu menurutnya perlu menggalakkan penjagaan hutan sebagai pertahanan dalam mengendalikan dampak perubahan iklim.

Selain menggalakan suara menjaga hutan, upaya yang dilakukan adalah mendukung upaya pemulihan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Seperti mendukung gerakan adopsi dan menanam hutan di kawasan perhutanan sosial yang dikelola oleh masyarakat.

Inisiatif ini menjadi bukti dalam menumbuhkan hutan. Menurut Data KKI Warsi pada tahun 2020 tutupan hutan areal Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) seluas 59.498 ha atau 57 persen dari areal PHBM, pertumbuhannya terlihat di 2023 yang menjadi 72.784 ha atau 70 persen. 

Penambahan hutan di kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat juga menjadi penyumbang pertumbuhan hutan. "Menjaga hutan sama dengan menjaga iklim. Mari sama-sama kita berkontribusi dalam mencegah kekeringan, memelihara lingkungan hidup, dan keseimbangan bumi kita," demikian Adi Junedi.

Kebakaran Hutan dan Lahan Meluas di Jambi

Karhutla Jambi
Sejumlah personel sedang berjarak memadamkan api Karhutla di kebun kelapa sawit di area gambut di Kabupaten Tanjab Timur. (Liputan6.com/ist)

Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Jambi terus meluas, dengan dampak signifikan terhadap lingkungan dan masyarakat setempat. Berdasarkan analisis terbaru yang dilakukan oleh tim GIS KKI Warsi, tercatat sekitar 565 hektar hutan dan lahan telah terbakar. Kebakaran ini meliputi area hutan produksi dan areal penggunaan lain.

Hasil analisis tersebut diperoleh melalui pemantauan sebaran titik panas yang ditangkap oleh satelit NAOO, Terra Aqua, dan SNVV antara tanggal 1 hingga 7 Agustus 2024. Data ini kemudian dipadukan dengan tangkapan citra satelit Sentinel 2 yang mengirimkan data setiap 5 hari, sehingga menghasilkan estimasi luas kebakaran dapat dihitung.

Dari hasil analisis, teridentifikasi bahwa kebakaran terjadi di area gambut, areal konflik, dan wilayah masyarakat. “Kemungkinan, kebakaran ini terkait dengan aktivitas pembukaan lahan untuk perkebunan,” kata Sukmareni, Koordinator Divisi Komunikasi KKI Warsi.

Lebih lanjut, Sukmareni menjelaskan bahwa kebakaran terpantau di berbagai area seperti hutan tanaman industri, HGU perkebunan kelapa sawit, dan area restorasi. “Kami mengapresiasi kerja keras semua pihak yang terlibat dalam upaya pemadaman api,” kata Sukmareni. 

Namun, kata dia penting untuk menegaskan perlunya pengawasan yang lebih ketat dari semua pihak untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di masa depan.

KKI Warsi menekankan perlunya penerapan instrumen pengendalian kebakaran yang efektif, termasuk menjaga tinggi muka air gambut, menyediakan alat bagi petani untuk membuka lahan secara ramah lingkungan, dan menyelesaikan konflik lahan.

"Tanpa penerapan instrumen ini, kebakaran hutan dan lahan akan terus terjadi dan berdampak buruk pada upaya Indonesia dalam mengurangi emisi karbon, serta memperburuk perubahan iklim,” ujar Sukmareni.

 

 

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya