Liputan6.com, Jakarta - PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) tengah berada pada turbulensi keuangan yang hebat. Hal ini utamanya disebabkan operasional Perseroan yang terganggu selama pandemi COVID-19 berlangsung.
Kondisi keuangan perseroan yang tertekan itu bahkan berbuntut pada kebijakan tunjangan gaji atau upah terhadap karyawan Garuda Indonesia. Per 31 Desember 2020, jumlah tunjangan atau gaji karyawan yang belum dibayarkan atau ditunda oleh Perseroan mencapai USD 23 juta atau sekitar Rp 328,06 miliar (kurs (Rp 14.263 per USD).
Baca Juga
"Estimasi dari jumlah tunjangan gaji yang saat ini ditunda/ belum dibayarkan per 31 Desember adalah sebesar USD 23 Juta,” ujar manajemen GIAA dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (9/6/2021).
Advertisement
Adapun penundaan atau penyesuaian gaji tersebut telah diberlakukan Perseroan sejak April hingga November 2020. Rinciannya, untuk direksi dan komisaris dilakukan penundaan pada 50 persen gaji.
Kemudian Vice President, Captain, First Office, dan Flight Service Manager sebesar 30 persen. Senior Manager 25 persen. Flight Attendant, Expert dan Manager 20 persen.
Lalu Duty Manager dan Supervisor 15 persen, serta Staff (Analyst, Officer atau setara) dan Siswa dilakukan penundaan pembayaran gaji atau upah sebesar 10 persen.
Masih dalam rangka efisiensi, Garuda Indonesia juga mengupayakan penyelesaian kontrak dipercepat untuk pegawai dengan status kontrak/PKWT.
Selain itu, program pensiun dipercepat kepada karyawan dengan kriteria pendaftar 45 tahun keatas yang dilaksanakan di tahun 2020, dan kebijakan penyesuaian mekanisme kerja untuk Pegawai (WFH/WFO).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Solusi Ini Bakal Selamatkan Garuda Indonesia dari Kebangkrutan
Sebelumnya, Pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Toto Pranoto memberikan beberapa solusi yang bisa dilakukan manajemen dan pemerintah untuk menyelamatkan Garuda Indonesia dari kebangkrutan.
Pertama, pemerintah bisa segera mencairkan pinjaman modal yang direncanakan sebesar Rp8,5 triliun namun baru cair Rp1 triliun.
"Pinjaman modal Rp8,5 triliun coba segera bisa di-disperse, karena sudah ada komitmen tapi disperse nya lambat atau macet, jadi Garuda gimana, janjinya Rp8,5 triliun, tapi baru cair Rp1 triliun," kata Toto dalam diskusi online, Jakarta, Selasa (8/6).
Toto melanjutkan, pemilik Garuda Indonesia sejauh ini bukan hanya pemerintah tetapi ada pemilik saham lain sebesar 30 persen. Pemilik saham lainnya bisa diajak berdiskusi mengenai upaya penyelamatan maskapai pelat merah tersebut.
"Pemilik Garuda Indonesia bukan cuma pemerintah. Ada juga pemilik saham yang lain, hampir 30 persen. Jadi bicaralah dengan investor pemilik sahamnya. Ini bisa tambah equitas atau tidak," katanya.
Dia menambahkan, dalam jangka panjang usai pandemi Virus Corona, Garuda Indonesia bisa mengalihkan beberapa rute penerbangan domestik ke Citilink Indonesia. Sementara, Garuda Indonesia bisa menggarap pasar internasional.
"Selama pandemi domestik akan terbang domestik juga, tidak mungkin ke luar karena masih Covid-19. Nanti kalau sudah selesia Covid-19 Garuda bisa menggarap asar internasional, yang domestik bisa digarap citilink. Kalau langkah-langkah itu bisa dilakukan Garuda masih punya cukup waktu," jelasnya.
Membentuk Maskapai Pengganti Garuda Indonesia Tak Ideal
Sementara itu, Menurut Toto, membentuk maskapai baru tak ideal dilakukan menyelesaikan masalah Garuda Indonesia. Sebab di tengah pandemi, keuangan negara cukup sulit padahal untuk membentuk maskapai baru dibutuhkan dana besar.
"Sekarang agak berat bukan hanya manajeman tapi ada Covid. Airlines baru bukan ideal, kalau di likuidasi dan diserahkan ke swasta Garuda flag carrier bukan hanya airlines tapi service airlines. Kalau diserahkan ke swasta sulit dilaksanakan," tandasnya.
Reporter: Anggun P. Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Advertisement