Liputan6.com, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus mendorong pemulihan ekonomi di tanah air. Salah satunya melalui transisi sektor ekonomi ke sumber energi yang lebih hijau (green) dan proses bisnis yang berkelanjutan (sustainability).
Hal itu merujuk pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 51/2017 tentang pelaksanaan kewajiban laporan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik (POJK Keuangan Berkelanjutan).
Baca Juga
Dengan beleid ini, akan semakin banyak emiten yang mengungkapkan laporan keberlanjutan. Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot mengatakan, pasar modal menyambut baik hal itu. Ditandai dengan penerbitan sustainability bonds atau obligasi berkelanjutan mencapai USD 1,92 miliar atau sekitar Rp
Advertisement
"OJK mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk menyusun rencana aksi keuangan berkelanjutan. Pasar modal ini telah merespons melalui penerbitan sustainability green bond USD 1,92 miliar,” kata Sekar dalam Literasi Investasi OJK - Cerdas Investasi di Pasar Modal, Selasa (24/8/2021).
Selain itu, green bonds oleh PT SMI tercatat sebesar Rp 500 miliar. Sejalan dengan itu, kredit di sektor hijau tercatat sudah mencapai lebih dari Rp 800 triliun. Sementara blended finance tercatat sebesar USD 2,46 miliar.
"Ada juga peningkatan nilai indeks SRI KEHATI yang memiliki dana kelolaan Rp 2,5 triliun per April 2021,” kata Sekar.
Untuk akomodasi, kebutuhan yang tinggi atas reksa dana dan ETF berbasis ESG, Bursa Efek Indonesia (BEI) juga telah menerbitkan ESG Leader Index.
"Optimisme yang tinggi atas pasar modal Indonesia diharapkan mendorong adanya ruang pengembangan bagi instrumen pembiayaan yang memenuhi prinsip berkelanjutan ke depannya,” pungkas Sekar.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Emiten Wajib Sampaikan Laporan Berkelanjutan
Sebelumnya emiten diwajibkan untuk mengungkapkan laporan berkelanjutan. Hal itu juga merujuk pada aturan Otoritas Jasa Keuangan melalui Peraturan OJK (POJK) 51/2017 tentang pelaksanaan kewajiban laporan berkelanjutan bagi lembaga jasa keuangan, emiten dan perusahaan public (POJK Keuangan berkelanjutan).
"Indonesia cukup beruntung karena OJK kita menjadi salah satu otoritas dari sedikit otoritas yang memilih untuk mewajibkan pengungkapan laporan berkelanjutan kepada para pelaku di industri jasa keuangan," ujar Direktur Pengembangan BEI, Hasan Fawzi dalam Emiten Expose 2021 - Prospek Cerah Emiten Peduli ESG, Selasa, 27 Juli 2021.
Dengan ada beleid itu, semakin banyak emiten yang akan mengungkapkan laporan keberlanjutan. Untuk kewajiban pada 2019 yang dilaporkan pada 2020, ada sebanyak 54 emiten. Namun, pada 2021, bertambah signifikan menjadi 135 emiten telah mengungkapkan laporan keberlanjutannya.
"Di 2019 yang laporannya di 2020, itu ada 54 saja emiten yang baru menerbitkan laporan berkelanjutan. Tapi tahun ini kita mencatat kenaikan lebih dari 150 persen di mana sudah 135 emiten yang sudah memenuhi kewajiban pelaporan berkelanjutan ini,” ujar Hasan.
Laporan ini memiliki delapan prinsip. Pertama, investasi bertanggung jawab, strategi dan praktik bisnis berkelanjutan, pengelolaan risiko sosial dan lingkungan hidup, tata kelola. Kemudian komunikasi yang informatif, inklusif, pengembangan sektor unggulan prioritas, serta koordinasi dan kolaborasi.
"Laporan ini memiliki guidance yang cukup baik dengan 8 prinsip yang di ke depankan. Sehingga masing-masing tentu harus melakukan pengungkapan atas 8 prinsip dan faktor-faktor yang terkait di dalamnya,” kata Hasan.
Penerapan laporan berkelanjutan untuk perusahaan tercatat di Bursa dilakukan secara bertahap. Hasan menuturkan, untuk bank besar, BUKU 4, BUKU 4 dan Bank Asing kewajibannya sudah dilakukan di 2019. Sehingga laporannya sudah terbit 2020.
"Berikutnya BUKU 1 dan BUKU 2 serta emiten besar dengan aset di atas Rp 250 miliar, pengungkapannya harus dilakukan untuk tahun fiskal 2020. Jadi di tahun ini harus dilakukan,” ujar Hasan.
Selanjutnya pada 2022, yang akan dilaporkan pada 2023 yakni untuk emiten sedang dengan aset antara Rp 50 sampai Rp 250 miliar. Pada 2024 yang dilaporkan pada 2025 itu untuk emiten-emiten kecil. "Jadi pada saatnya pengungkapan ini tentu menjadi mandatory,” pungkas dia.
Advertisement