Indonesia Alami 'Musim Semi' di Tengah Kemelut Rusia-Ukraina

Chief Economist PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menerangkan, dampak konflik Rusia-Ukraina disebut hanya akan berlangsung sementara.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 11 Mar 2022, 03:30 WIB
Diterbitkan 11 Mar 2022, 03:30 WIB
(Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)
(Foto: Ilustrasi investasi saham. Dok Unsplash/Austin Distel)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia disebut tengah memasuki ‘musim semi’. Kiasan itu terkait potensi Indonesia menjadi salah satu negara yang menimba untung dari kondisi global saat ini, termasuk adanya konflik Rusia-Ukraina.

Chief Economist PT Bahana TCW Investment Management, Budi Hikmat menerangkan, dampak konflik Rusia-Ukraina disebut hanya akan berlangsung sementara. Hal itu lantaran konflik dinilai bukan terkait ideologi, tetapi lebih ada kepentingan bisnis.

"Dugaan saya, kondisi yang sekarang bukan masalah ideologi, tapi bisnis. Kalau diperhatikan Jerman, security dari AS, energi dari Rusia sementara bisnis dari Tiongkok," ujarnya dalam World of Wealth 2022, ditulis Jumat (11/3/2022).

Di sisi lain, adanya larangan ekspor maupun impor komoditas dari dan ke Rusia, disebut menjadi peluang Indonesia untuk pasang badan untuk berkontribusi lebih besar dalam supply komoditas global. ANun demikian, di sata bersamaan Budi juga mencermati inflasi yang terjadi di dalam negeri.

"Ada dinamika inflasi yang terjadi bagaimana pemerintah bisa efektif. Saya dengar pemerintah akan membantu masyarakat menengah ke bawah akan dijaga daya belinya. Jadi ini cukup strategis,” kata Budi.

Tanpa mengurangi empati atas konflik Rusia-Ukraina, Budi sekali lagi menekankan, situasi ini cukup normal. Mengingat latar belakangnya lebih pada urusan bisnis, Budi menyebut Indonesia bak mengalami ‘musim semi’ lantaran menjadi salah satu kandidat yang dipertimbangkan untuk investasi.

"Ada aliran dari Eropa, jelas. Istilahnya musim semi,”

"Yang saya pelajari selama 25 tahun, ada dua jenis rotasi antar aset, seperti dari obligasi ke saham, komoditas , currency. Tapi ada juga regional. Indonesia jadi menarik karena kebijakannya benar,” ujar Budi.

Salah satu kebijakan yang dimaksud yakni hilirisasi. Umpamanya, dulu Indonesia menjual dalam bentuk mentah, sekarang diolah. Sehingga bisa memberikan nilai tambah yang lebih besar.

"Tahun lalu foreign direct investment untuk sektor mining meningkat 160 persen, itu menunjukkan bahwa Indonesia betul-betul memanfaatkan situasi,” kata Budi.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Strategi

Pergerakan IHSG Turun Tajam
Pengunjung mengabadikan papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta, Rabu (15/4/2020). Pergerakan IHSG berakhir turun tajam 1,71% atau 80,59 poin ke level 4.625,9 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sementara menyinggung inflasi, Budi mengatakan strategi terbaik adalah melakukan investasi pada saham-saham komoditas yang menjadi biang kerok inflasi. Di sisi lain, pasar saham juga dinilai lebih fleksibel dibandingkan obligasi yang memiliki potensi kenaikan suku bunga.

"Kalau ada inflasi gara-gara berbagai kemelut ini, strategi terbaik adalah tunggangi penyebab inflasi dengan berinvestasi pada saham-saham komoditi yang mendorong inflasi,” tandasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya