Harga Mi Instan Dikabarkan Bakal Naik 3 Kali Lipat, Bos Indofood Sebut Itu Berlebihan

Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang angkat bicara mengenai harga mi instan bakal naik tiga kali lipat.

oleh Agustina Melani diperbarui 11 Agu 2022, 06:01 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2022, 18:38 WIB
Ilustrasi resep masakan, mie
Ilustrasi resep masakan, mie. (Photo by Miles Burke on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang buka suara mengenai isu kenaikan harga mi instan naik tiga kali lipat. Ia menilai, pernyataan harga mi instan yang dapat naik tiga kali lipat berlebihan.

Pria yang akrab disapa Franky ini menuturkan, harga mie instan belum tentu naik tiga kali lipat. Hal ini lantaran harga gandum internasional tidak naik 100 persen. Berdasarkan data tradingeconomics.com, harga gandum tahunan naik 8,86 persen ke posisi USD 791,68.

"Harga gandum belum sampai naik 100 persen. Bagaimana bisa mi instan naik tiga kali lipat?,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (10/8/2022).

Ia menuturkan, kenaikan harga gandum saat ini seperti 2008. Namun, yang menjadi perbedaan tidak ada perang. Pada 2022, kenaikan harga gandum dipicu konflik Ukraina dan Rusia. "Kenaikan harga gandum hari ini sama seperti 2008, bedanya tidak ada perang. Statement (harga mie naik tiga kali lipat-red) berlebihan,” tutur dia.

Franky mengatakan, pembentukan harga mi instan tidak hanya dari harga gandum saja. Namun, ada komponen lain yaitu kemasan, plastik bumbu, cabai, dan minyak goreng. Franky menuturkan, saat harga minyak naik, harga mi tidak naik. Ia juga mengatakan, produsen juga tidak serta merta langsung menaikkan harga karena juga ada pertimbangan lainnya. "Mi instan itu produk branded. Masing-masing bersaing, konsumen tidak usah takut,” kata dia.

Ia mengatakan, pernyataan ada potensi harga mie naik itu sebagai peringatan wajar. Namun, Franky menuturkan, anggota dari asosiasi tepung terigu Indonesia juga tidak mengeluh mengenai kekurangan pasokan. Hal ini karena pengadaan gandum tidak hanya dari satu negara saja misalkan Ukraina, tetapi juga negara lain.

"Industri itu ada risk management, risk supply management, tidak hanya bergantung pada satu saja (Ukraina-red),” ujar dia.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Siap-Siap Anak Kos, Harga Mie Instan Bakal Naik Tiga Kali Lipat

Warna-Warni Mie Sehat dan Dimsum ala Pelangi Snack Bogor, Jaminan Halal dan Ekonomis
Ilustrasi mie warna-warni.

Sebelumnya, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengingatkan akan ada kenaikan harga mie instan. Kenaikan tersebut dikarenakan perang dari Rusia dan Ukraina.

Kemungkinan kenaikan harga mie instan akan mencapai sekitar tiga kali lipat.

"Belum selesai dengan climate change, kita dihadapkan Perang Ukraina-Rusia, di mana ada 180 juta ton gandum enggak bisa keluar, di hati-hati yang makan mi banyak dari gandum, besok harganya (naik) 3 kali lipat," kata Syahrul Yasin Limpo selaku Menteri Pertanian dalam webinar Direkorat Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Selasa (9/8/2022).

Alasan mengapa harga mi instan bakal naik karena gandum sebagai bahan baku utamanya berasal dari negara tersebut. Adapun Indonesia sendiri sampai saat ini masih melakukan impor gandum.

Rusia dan Ukraina adalah negara penghasil gandum yang terbesar di dunia, keduanya menyuplai sekitar 30% hingga 40% dari kebutuhan gandum yang ada di dunia. Maka dari itu, dengan situasi perang yang terjadi pada saat ini gandum pun menjadi salah satu bahan yang langka dikarenakan pasokannya yang terhambat.

Kenaikan harga gandum tersebut turut dirasakan di pasar internasional dan salah satunya termasuk Indonesia yang membutuhkan gandum sebagai salah satu bahan baku mie instan.

62 Negara Krisis Pangan

Mentan Syahrul kembali menyebut ada potensi 62 negara di dunia masuk dalam kategori krisis pangan. Ini diperkuat dengan pernyataan yang ia dapatkan dari Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).

"Bahkan, beberapa negara lain mengisyaratkan ada kelaparan kurang lebih 13 juta orang di dunia, itu mulai di Ethiopia, ada 62 negara menuju kondisi krisis pangan," ungkapnya.

Ia mengisahkan, rantai pasok dunia terganggu dengan adanya pandemi Covid-19, kemudian diperparah dengan ancaman perubahan iklim, ditambah adanya perang Rusia-Ukraina.

"Climate change (perubahan iklim) membuat semua menjadi tidak linear, tak seperti apa adanya, unpredictable, tak bisa diperkirakan, itu kata dunia, everything non-continous anymore," kata dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya