Liputan6.com, Jakarta - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menyatakan, awal gagasan agar Kantor Urusan Agama (KUA) bisa melayani pencatatan pernikahan semua pemeluk agama, karena KUA adalah etalase Kementerian Agama.
"Kementerian untuk semua agama. KUA juga memberikan pelayanan keagamaan pada umat agama non Islam,” ujar Yaqut ketika ditemui di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin.
Baca Juga
Ketika ditanya apakah gagasan tersebut akan berarti merevisi UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Pendudukan, Yaqut mengatakan pemerintah masih perlu waktu untuk menjalankan prosesnya.
Advertisement
Namun, dia mengaku optimistis mendapat banyak dukungan untuk mentransformasikan KUA sebagai tempat pencatatan nikah semua umat beragama.
“Saya optimistis lah kalau untuk kebaikan seluruh umat agama, mau merevisi undang-undang atau apa pun saya kira orang akan memberi dukungan,” katanya.
“Selama ini kan saudara-saudara kita non Islam mencatatkan pernikahannya di catatan sipil. Kita ingin memberi kemudahan. Masa nggak boleh memberikan kemudahan kepada semua warga negara?” ujar Yaqut, menambahkan.
Yaqut pun memastikan bahwa pemerintah akan melibatkan tokoh semua agama dalam pembahasan rencana KUA jadi tempat pernikahan umat semua agama.
Berdasarkan UU Nomor 2003 Tahun 2006, pencatatan pernikahan warga negara Indonesia dibedakan sesuai agama.
Pernikahan Muslim dicatat KUA sementara umat agama lain dicatat Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.
Aturan itu sempat digugat ke Mahkamah Konstitusi karena dinilai diskriminatif dan menciptakan kasta-kasta di masyarakat.
Gagasan Out of the Box
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, mengatakan, esensi Kementerian Agama sebagai organisasi negara yang melayani seluruh umat dapat direalisasikan dengan rencana tersebut.
“Ini gagasan out of the box namun sangat rasional karena sejatinya Kemenag adalah kementerian untuk semua agama. Dari sisi ide patut didukung,” kata Tholabi seperti dikutip Senin, (26/2/2024).
Tholabi mencatat, konsolidasi aturan melalui berbagai aspek, baik regulasi, organisasi, maupun kemampuan sumber daya manusia (SDM) harus dimatangkan. Misalnya, dari sisi regulasi, eksplisit maupun implisit masih menempatkan pencatatan perkawinan di dua klaster, yakni pencatatan perkawinan untuk Muslim dan pencatatan perkawinan bagi non Muslim
“Soal regulasi membutuhkan energi yang tidak ringan. Seperti di UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan UU Nomor 22 Taun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Menteri Agama Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, dan PMA Nomor 34 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama (KUA),” urai Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Jakarta ini.
Tholabi mengingatkan, gagasan terkait dipastikan berdampak pada persinggungan dengan kementerian dan lembaga lainnya seperti dalam urusan koordinasi dan harmonisasi, baik dari sisi regulasi maupun pemindahan beban kerja antar instansi.
“Jadi tidak sekadar urusan regulasi, tapi harus melakukan penyamaan persepsi antar kementerian dan pelaksana teknis di lapangan,” wanti Tholabi.
Di bagian lainnya, Tholabi juga memotret tentang satuan kerja yang membidangi masalah Kantor Urusan Agama (KUA), yakni Direktorat Bina KUA dan Keluarga Sakinah yang berada di bawah Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. Menurut dia, perihal penyesuaian organisasi di internal kementerian tidak begitu krusial.
Advertisement