Liputan6.com, Jakarta - Para penipu online makin banyak yang beralih ke platform media sosial. Mereka menggunakan layanan populer seperti Instagram, Facebook, TikTok, dan Twitter untuk menjaring mangsa.
Menurut data Federal Trade Commission (FTC), sepanjang 2021, setidaknya penipu online bisa menghasilkan USD 770 juta atau lebih dari Rp 11 triliun dari penipuan via medsos.
Baca Juga
Jumlah uang hasil penipuan online diperkirakan jauh lebih besar dari data di atas. Pasalnya menurut FTC, orang cenderung malu melaporkan penipuan yang dialami via media sosial karena merasa malu.
Advertisement
Mengutip Digital Trends, Jumat (28/1/2022), penelitian FTC menemukan setidaknya 95.000 pengguna media sosial jadi korban penipuan online. Jumlah korban aslinya pun diperkirakan lebih besar dibandingkan perkiraan FTC.
Data yang sama mengungkap, penipuan via media sosial menyumbang 25 persen dari total kerugian yang dilaporkan akibat penipuan tahun 2021. Jumlah di atas meningkat 18 kali lipat dibandingkan 5 tahun lalu, ketika media sosial belum semasif sekarang.
Bagi para penipu, media sosial terbilang menguntungkan dibandingkan menggunakan metode lainnya. Pasalnya menjangkau target dengan media sosial terbilang lebih mudah.
Dari data, semua kelompok usia bisa jadi korban penipuan via media sosial. Terbanyak penipuan via medsos menyasar pengguna berusia 18-39 dibandingkan mereka yang berusia lebih dewasa.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Penipuan dengan Iklan hingga Investasi Cryptocurrency
Adapun jenis penipuan yang banyak digunakan di media sosial adalah dengan iklan, unggahan, atau pesan.
"Bagi penipu, penipuan dengan media sosial berbiaya lebih rendah dan mudah menjangkau miliaran orang dari mana saja di dunia. Pasalnya dengan medsos, sangat mudah untuk membuat persona palsu. Cara lain yang dipakai, penipu meretas profil untuk menipu teman-teman korban," kata pihak FTC.
Para penipu yang meretas akun korban ini mempelari berbagai detail pribadi yang dibagikan korban di media sosial, guna mengelabui teman-teman korban dan mendapatkan uang dari mereka.
Detail pribadi seperti usia, minat, dan riwayat pembelian sebelumnya juga bisa dimanfaatkan untuk menargetken calon korban dengan iklan palsu.
Investasi juga jadi cara penipuan paling menguntungkan bagi penjahat. Terutama dengan memanfaatkan produk cryptocurrency palsu.
"Orang-orang mengirim uang, seringkali cryptocurrency dengan janji mendapatkan pengembalian besar tetapi berakhir dengan tangan kosong," kata pihak FTC.
Advertisement
Waspadai Penipuan Berkedok Asmara Jarak Jauh
Bukan hanya itu, penipuan asmara, disebut sebagai jenis penipuan paling menguntungkan nomor dua di media sosial. Sepertiga korban mengaku, penipuan asmara dimulai dari Facebook atau Instagram.
"Penipuan ini sering dimulai dengan permintaan pertemanan dari seseorang, diikuti percakapan manis, dan kemudian beralih ke permintaan uang ketika kedua orang sudah mulai akrab," kata FTC.
Jika penipuan investasi dan asmara membuat kerugian paling besar, jumlah laporan terbanyak justru datang dari penipuan pembelian produk.
Jadi ketika korban mencoba membeli sesuatu yang diiklankan di medsos seperti Facebook dan Instagram, mereka yang sudah melakukan pembayaran justru tidak dikirimkan barangnya.
Penipuan-penipuan seperti ini biasanya menggunakan nama toko online yang dirancang agar terlihat seperti merek terkenal.
Hindari Bagikan Informasi Pribadi di Medsos
FTC pun memperiingatkan agar pengguna media sosial selalu berhati-hati saat terlibat dengan konten yang diunggah orang lain, terutama jika melibatkan transaksi keuangan.
FTC merekomendasikan pengguna untuk membatasi siapa yang bisa melihat unggahan dan informasi pribadi mereka di media sosial. Selain itu, pengguna medsos juga diminta menghindari berbagai informasi pribadi secara berlebihan.
Jangan lupa, ketika mendapatkan pesan permintaan pinjam uang dari akun teman, lakukan konfirmasi apakah benar yang meminta uang itu adalah teman kita.
(Tin/Isk)
Advertisement