Liputan6.com, Jakarta - Lanskap startup digital di Indonesia kini mengalami perubahan karena iklim ekonomi global yang kurang kondusif. Ya, faktanya dunia tengah menghadapi resesi ekonomi serius (resesi global).
Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat dari 6 persen pada 2021 menjadi 3,2 persen pada 2022 dan 2,7 persen pada 2023. Proyeksi ini adalah yang terburuk sejak 2001.
Baca Juga
Perjuangan Salma Salsabil Dapat Dua Penghargaan Indonesia Music Awards 2024, Ada Peran Besar Ayah hingga Komunitas Fans
Lika-liku Pencalonan Airin Rachmi di Pilkada Banten 2024, Dihujat di TikTok hingga Suami Diperiksa Kejati tapi Elektabilitasnya Tetap Tinggi
Cek Fakta: Tidak Benar Dukungan Anies Bikin Pramono-Rano Hanya Peroleh Suara 28,4 Persen
Sebagai upaya untuk membantu para founder startup agar bisa mempertahankan momentum usaha dan mencapai Product-Market Fit (PMF) dengan tepat, Kementerian Kominfo menyelenggarakan program inkubasi Startup Studio Indonesia (SSI).
Advertisement
Dalam program yang telah memasuki batch kelima ini, para startup terpilih berkesempatan untuk berdiskusi dan bertukar pengalaman dengan pelaku startup veteran di Indonesia, dalam sesi 1-on-1 Coaching.
Berikut adalah rangkuman 5 pesan penting dari para veteran startup bagi para founder yang baru saja memulai usaha rintisannya, sebagaimana dikutip dari keterangan resmi Startup Studio Indonesia, Rabu (9/11/2022).
1. Disrupsi dan Tren Tak Perlu Selalu Diikuti
Selama ini, startup selalu diidentikkan dengan usaha yang mendisrupsi bisnis konvensional. Namun, pada kenyataannya, disrupsi dan tren tidak selalu berjalan di jangka panjang. Hal ini diungkapkan oleh Christopher Madiam, Founder dan CEO Sociolla.
Chris menilai tidak semua hal bisa didisrupsi. Kita sebagai founder harus bisa menganalisis mana kebiasaan konsumen yang bisa diubah, dan mana yang tidak.
"Misalnya di Sociolla, kami percaya bahwa kehadiran toko offline adalah hal yang tidak akan berubah. Bagaimanapun berkembangnya sistem e-commerce, toko offline pasti akan tetap eksis, itulah mengapa kami pun mengembangkan kehadiran offline. Jadi perlu diingat bahwa tidak semua disrupsi dan tren-tren digitalisasi baru perlu untuk kita (startup) ikuti,” ungkapnya.
2. Gabungkan Hasil Benchmarking dengan Data dan Analisis Mandiri
Salah satu cara startup untuk bisa memahami pasar yang dituju adalah dengan melakukan benchmarking, yaitu menganalisis apa yang telah dilakukan startup serupa atau bahkan kompetitor.
Di tahap awal, founder pun bisa menjajal langsung dengan menjadi user di bisnis serupa, agar bisa mengidentifikasi kelebihan dan kekurangan dari startup lain dan menghadirkan solusi yang lebih baik.
“Di awal perkembangan, Kitabisa sering belajar dari operasional platform penghimpunan dana internasional, Gofundme. Namun, ada perbedaan bisnis yang cukup signifikan, justru setelah itu kami menemukan platform crowdfunding dari India yang punya produk yang lebih mirip, sehingga menjadi patokan benchmarking kami," ujar Alfatih Timur, Co-Founder & CEO Kitabisa.com.
Tapi, ia menambahkan, hasil dari benchmarking ini wajib untuk dikombinasikan dengan insight data yang kita punya, karena bagaimanapun setiap pasar memiliki dinamikanya sendiri-sendiri.
3. Eksperimen Kecil-kecilan
Eksperimen secara terus-menerus merupakan kunci dari keberhasilan Rama Notowidigo, Co-Founder AwanTunai dan Sayurbox, sekaligus mantan Chief Product Officer Gojek.
Ia mengatakan, penting bagi founder startup untuk berani mencoba segala sesuatu, dan melihat mana cara yang berhasil dan gagal.
Kesuksesan itu sendiri bisa dilihat jika eksperimen tersebut bisa menghasilkan pendapatan organik dan ada level retensi (loyalitas pengguna) yang cukup sehat.
Christopher Madiam pun ikut menyuarakan hal yang sama. Ia menyarankan para founders untuk mencoba segala sesuatu di skala kecil-kecilan.
Jika mendapatkan respon positif dari pengguna/klien, barulah startup bisa menyempurnakan kembali produk tersebut. Seringkali eksperimen kecil-kecilan menjadi faktor yang lebih efektif daripada terlalu banyak menerima teori saja tanpa dipraktikkan.
Advertisement
4. Human Touch Jadi Prioritas
Bagi startup yang bergerak di bidang B2B, layanan pelanggan tetap menjadi aspek utama yang perlu dijaga.
Brian Marshal, Founder dan CEO dari omnichannel commerce enabler, SIRCLO Group, mengatakan seiring dengan berkembangnya skala bisnis, tentu kita membutuhkan intelegensi dan analisa data yang kuat untuk bisa memberikan servis terbaik bagi klien.
"Data ini membantu pengambilan keputusan, misalnya berapa harga yang terbaik? Berapa margin diskon yang paling bagus? Tapi jangan lupa, bahwa analisa data ini tidak bisa menggantikan layanan manusia atau human touch," ucap Brian.
Ia melanjutkan, kita perlu memberikan layanan terbaik selalu bagi klien, betul-betul memahami apa pain points dan membantu mereka ketika menemukan hambatan. Di sinilah peran penting dari divisi layanan pelanggan atau Account/Relationship Manager.
5. Bangun Fitur yang Melengkapi Produk Utama
Dalam proses membesarkan startup, terkadang founders terlalu berfokus dalam menciptakan fitur dan produk baru, sehingga mengorbankan produk utama yang telah memiliki model bisnis jelas.
Untuk itu, ketika startup sudah menemukan PMF dan mempunyai jasa/produk digital yang menghasilkan pendapatan, maka bangunlah fitur dan produk-produk baru yang bisa melengkapi hal tersebut. Hal inilah yang menjadi alasan Suwandi Soh, CEO Mekari, dalam meluncurkan Mekari University.
“Dari hasil observasi, kami melihat banyak pemilik bisnis dan profesional yang membutuhkan pemahaman lebih jauh, bukan hanya dalam penggunaan software, tapi juga sisi teknis di akuntansi, perpajakan, hingga mengenai peraturan ketenagakerjaan," ungkapnya.
Maka dari itu, perusahaan yang dikelolanya membentuk dan membangun Mekari University yang memberikan pelatihan dan membantu menutup gap tersebut. Saat ini, Mekari University juga membantu mahasiswa/i hingga non-pengguna produk Mekari.
Advertisement