Cerita Mantan Wapres Boediono soal Krisis 1998 dan 2008

Mantan Wakil Presiden Boediono menilai pada setiap krisis selalu diwarnai dengan elemen kejutan.

oleh Achmad Dwi Afriyadi diperbarui 15 Agu 2016, 15:12 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2016, 15:12 WIB
Mantan Wapres Boediono
Mantan Wapres Boediono

Liputan6.com, Jakarta - Mantan Wakil Presiden Boediono bercerita tentang pandangannya mengenai krisis yang terjadi pada 1998 dan 2008. Menurut Boediono, setiap krisis selalu diwarnai dengan elemen kejutan.

Dia menceritakan, pada krisis 1998 atau biasa disebut krisis keuangan Asia dipicu oleh perpindahan aliran dana yang begitu cepat. Sementara, Indonesia tak cukup pengalaman untuk menghadapi krisis tersebut.

"Tahun 1997-1998 yang kita sebut krisis keuangan Asia tiba-tiba uang yang berputar di Thailand, Malaysia, Indonesia dan Korea Selatan keluar karena berbagai hal. Dipicunya, Thailand peminjam dari dana global tiba-tiba tidak bisa bayar. Yang terjadi pada waktu itu, kita belum punya pengalaman penanganan mengenai krisis semacam itu," kata dia dalam acara "Indonesia Economy: Review on Financial and Banking Sector" di Kampus Unika Atma Jaya Jakarta, Senin (15/8/2016).

Boediono menuturkan, dalam menghadapi krisis, yang terpenting ialah menjaga psikologis pemilik dana. Hal tersebut dilakukan supaya pemilik dana bertahan untuk tetap berada di Indonesia.

"Sebelumnya, krisis kita karena domestik karena kesalahan kita sendiri kita cetak duit, tapi itu jauh lebih mudah. Sekarang tergantung pada psikologi pemilik dana ini global dan kita harus hati-hati jaga psikologi mereka supaya tetap tenang di negara kita," jelas dia.

Senada dengan krisis 1998, krisis pada 2008 juga dipenuhi dengan elemen kejutan. Boediono mengatakan krisis yang dikenal dengan krisis keuangan global tersebut terjadi secara tiba-tiba.

Mulanya, Boediono menuturkan pada 2007 tidak terlihat adanya ancaman krisis yang berdampak pada Asia. "Pada 2007 sudah ada tanda-tanda di Amerika Serikat (AS), supreme loan, ada bailout di beberapa bank di AS dan Eropa. Tapi kita merasa tidak apa-apa, 2007 itu aman," kata dia.

Namun, guncangan baru terasa ketika salah satu institusi keuangan Lehman Brothers bangkrut. Bangkrutnya Lehman Brothers berdampak pada keringnya likuiditas hampir pada semua negara.

"Anehnya, sebelum itu ada beberapa bank yang di-bailout, tapi yang satu ini dibiarkan. Akibatnya, konsekuensi yang tidak diperkirakan sebelumnya yakni likuiditas kering di semua negara. Thailand, Malaysia, Singapura, Australia semua mengering," papar dia.

Melihat hal tersebut, Boediono menuturkan, pemerintah perlu mengambil sikap intervensi. Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk menutup 16 bank supaya krisis tidak berkelanjutan. "Seandainya menyadari, tutup bank oke tapi harus dengan sistem pengaman," ujar dia. (Amd/Ahm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya