Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Jadi Pelajaran buat JBIC

Indonesia merupakan nasabah terbesar bagi JBIC.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 20 Okt 2016, 18:46 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2016, 18:46 WIB
20150905-Kereta-Cepat
Kereta Cepat Buatan Cina (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta Japan Bank for International Cooperation (JBIC) tak ingin mengulang kesalahan di masa lalu, yang pada akhirnya gagal menggarap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Padahal, Indonesia merupakan nasabah terbesar bagi JBIC. 

Kegagalan terjadi karena saat menawarkan pinjaman proyek, JBIC menuntut ada jaminan dari pemerintah Indonesia jika proyek mengalami kegagalan. Indonesia pun akhirnya menyerahkan proyek tersebut ke China.

"Indonesia merupakan nasabah paling besar bagi kami," kata CEO dan Executive Managing Director JBIC, Tadashi Maeda saat ditemui di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Kamis (20/10/2016).

Maeda mengatakan, Jepang pernah kalah dalam proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Pemerintah Indonesia saat itu memutuskan China sebagai pemenang proyek.

Kekalahan tersebut karena Jepang ngotot meminta jaminan dari pemerintah Indonesia, sementara China tidak demikian.

"Sebelumnya, Jepang dan China menawarkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Jepang lebih murah dari segi cost, tapi China jadi pemenang. Itu karena Jepang bersikeras minta jaminan pemerintah Indonesia, sedangkan China tidak," terang dia.

Atas dasar itu, kata Maeda, JBIC akan menawarkan pinjaman menarik tanpa jaminan pemerintah Indonesia, tapi dengan mempertimbangkan fungsi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia.  

"Itu jadi poin penting memenangkan pihak China, sehingga kami ingin beri tawaran menarik dengan mempertimbangkan fungsi BUMN di Indonesia," jelas dia.

Menurutnya, tanpa jaminan pemerintah Indonesia belum tentu meningkatkan risiko dalam pembiayaan. Sedangkan dengan jaminan, berpotensi meningkatkan porsi pembiayaan karena lebih mudah.

"Hal ini malah bisa meningkatkan risiko bagi Indonesia yang sudah menetapkan target defisit maksimal 3 persen dari PDB. Risiko juga bagi Jepang kalau dengan jaminan pemerintah, makanya kami terus melakukan monitoring kesehatan keuangan negara," jelas Maeda. (Fik/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya