Cegah Konflik, Pemerintah Diminta Serius Tata Sektor Transportasi

Pembenahan dengan menata angkutan umum ke arah lebih baik dan menertibkan maraknya ojek atau angkutan berbasis online.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 13 Mar 2017, 18:30 WIB
Diterbitkan 13 Mar 2017, 18:30 WIB
Transportasi
Transportasi

Liputan6.com, Jakarta Aksi demo sopir maupun pengusaha angkutan umum tidak akan berhenti sampai ada pembenahan serius dari pemerintah. Pembenahan dengan menata angkutan umum ke arah lebih baik dan menertibkan maraknya ojek atau angkutan berbasis online.

"Demo di berbagai daerah, dari Yogyakarta, Medan, Malang, Semarang, Tangerang, Bandung adalah akumulasi kekesalan sopir maupun pengusaha angkutan umum karena tidak adanya perhatian dari pemerintah," ujar Pengamat Transportasi Universitas Soegijapranata di Semarang, Djoko Setijowarno  saat dihubungi Liputan6.com, Jakarta, Selasa (14/3/2017).

Dia menjelaskan, ojek maupun taksi berbasis online bebas berkeliaran di jalan. Padahal sepeda motor bukan termasuk angkutan umum. Pengusaha transportasi online, hanya investasi pada sebuah aplikasi.

Sementara pengusaha angkutan umum konvensional harus berjuang mempertahankan bisnis dengan investasi lumayan besar tanpa subsidi atau bantuan dari pemerintah.

"Bajaj misalnya kendaraan resmi, bayar pajak, tapi malah dibatasi operasionalnya. Belum lagi angkutan umum resmi lain diminta pungli oleh oknum dishub, preman, makanya terjadi penurunan pendapatan di mana-mana," Djoko menambahkan.

"Kalau pemerintah pusat dan daerah tidak menata angkutan umum, maka demo sopir dan pengusaha angkutan umum bakal terjadi terus menerus," jelas dia.

Supaya mengurangi intensitas demo transportasi umum di sejumlah daerah, Djoko menyarankan, agar pemerintah bertindak tegas. Dia mengimbau, supaya pemerintah melarang operasi angkutan umum sewa online yang berdiri sendiri.

"Memaksa mereka untuk bergabung dengan perusahaan angkutan umum sewa yang sudah ada," dia menjelaskan.

Pemerintah daerah diminta melakukan pembinaan terhadap perusahaan angkutan umum sewa yang sudah ada secara serius, sehingga dapat memberikan pelayanan prima bagi masyarakat.

"Peran kepala daerah untuk menata transportasi umum sangat besar. Jangan cuma ingat ketika mencalonkan Pilkada akan menata angkutan umum, tapi setelah menang lupa dengan janjinya, keberadaan angkutan umum dilupakan dan dibiarkan mati," harap Djoko.

Dia menilai kondisi angkutan umum dan perhatian pemerintah terhadap sektor ini menurun sejak era reformasi.

Padahal dalam Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ), ada kewajiban pemerintah, termasuk pemerintah daerah untuk menyelenggarakan transportasi umum (Pasal 138, 139, 158) dan kewajiban memberi subsidi operasional (Pasal 185).

Di Jawa Tengah, angkutan pedesaan yang beroperasi tinggal 20 persen sehingga beberapa trayek transportasi pedesaan sudah hilang. Bus Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) yang beroperasi sudah kurang dari 40 persen dengan keterisian penumpang atau load factor kurang dari 40 persen. Idealnya, load factor minumum 79 persen agar usahanya tetap berjalan.

"Nasib angkutan umum di perkotaan pun sama dengan di desa. Rata-rata yang beroperasi kurang dari 30 persen dengan tingkat keterisian penumpang kurang dari 40 persen," dia berujar.

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada 2004 mulai menggagas bus sistem transit (BST) dengan konsep membeli pelayanan (buy the service). Akan tetapi dalam perkembangannya saat ini, tidak banyak kota yang serius menyelenggarakan BST. Sekarang ini sudah lebih dari 20 kota di Indonesia mengoperasikan angkutan umum BST.

"Selain kendala anggaran, kemampuan sumber daya manusia di daerah juga menghambat BST. Bahkan yang lebih ironis, program BST jadi ladang korupsi dan kolusi kepala daerah sampai ke bawahnya," dia menjelaskan.

Penyelenggaraan Bus Rapid Transit (BRT) di Jakarta sekarang ini sudah bisa menjadi percontohan bagi daerah. Di Jakarta, bus antre di halte menunggu penumpang naik. Sementara di daerah, kebalikannya yakni penumpang antre menunggu bus kapan akan hadir di halte karena jumlah bus berkurang.

Menurut Djoko, era menurunnya pengguna angkutan umum adalah saat sepeda motor mudah didapat dan harganya sangat terjangkau kemampuan warga karena dapat dicicil. Itu di zaman pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

"Era Presiden SBY, jumlah sepeda motor tumbuh pesat," ucap dia.  

Sebelum 2005, dia melanjutkan, produksi sepeda motor hanya sekitar 2-3 juta unit per tahun. Kemudian meningkat signifikan dengan rata-rata 8 juta unit sepeda motor diproduksi per tahunnya.

Kemudian muncul kebijakan mobil murah dan hemat energi (LCGC) yang mendapat fasitas khusus tanpa membayar pajak, turut berpengaruh. Warga semakin beralih ke kendaraan pribadi, baik sepeda motor maupun mobil.

"Manajemen layanan transportasi umum tidak banyak berubah. Sistem setoran dan ngetem membuat angkutan umum kurang diminati penumpang. Angkutan umum kian ditinggalkan," Djoko menuturkan.

Saat SBY berkuasa, dia menambahkan, subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) mencapai Rp 200 triliun. Penikmat terbesar adalah pengguna sepeda motor 53 persen dan mobil pribadi 40 persen. Sedangkan angkutan umum hanya 3 persen atau terendah dibanding angkutan barang 4 persen.

Sementara itu, Djoko lebih jauh mengatakan, di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), marak penggunan teknologi informasi dan merambah pula ke sektor transportasi umum. Muncul angkutan sewa beraplikasi, baik sepeda motor maupun taksi.

Jumlah ojek dan taksi online marak karena tarif yang lebih murah dibanding taksi resmi. Ojek bukan jenis transportasi umum, karena sepeda motor bukan kendaraan berkeselamatan.

"Bajaj yang legal dan bayar pajak dibatasi wilayah operasinya, sementara ojek online yang ilegal menurut UU LLAJ, dibiarkan bebas beroperasi tanpa pembatasan," paparnya.

Hanya Kota Solo yang melarang operasi angkutan umum baru beraplikasi. Diizinkan jika bergabung dengan angkutan umum yang sudah ada, tidak membentuk badan usaha baru.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya