Penghentian Proyek Reklamasi Berimbas ke Bisnis Properti Jakarta

Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta menunjukkan, sektor properti setiap tahun menyumbang rata-rata 19% dari PDB bruto.

oleh Ilyas Istianur Praditya diperbarui 22 Mei 2017, 17:29 WIB
Diterbitkan 22 Mei 2017, 17:29 WIB
20160417-Penampakan Terkini Bentuk Pulau G Hasil Reklamasi Teluk Jakarta
Mesin penimbun tampak kokoh berdiri di atas hamparan pasir berada di Teluk Jakarta, Muara Angke, (17/4). Lokasi yang dulunya mejadi tempat nelayan mencari ikan berubah menjadi dataran dari proyek Reklamasi Teluk Jakarta. (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta Rencana Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Terpilih Anies Baswedan-Sandiaga Salahudin Uno, menghentikan proyek reklamasi di Teluk Jakarta dinilai tidak bisa dilakukan begitu saja. Langkah penghentian dinilai bisa berdampak ke sektor properti di Ibu Kota.

Apalagi, proyek ini sudah melalui tahapan sesuai aturan yang dibuat pemerintah. Ini diungkapkan  Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch Ali Tranghanda, Senin (22/5/2017).

"Sebelumnya katanya stop reklamasi, sekarang untuk fasilitas publik. Saya bingung dengan perubahan pernyataannya,” kata dia.

Rencana keputusan penghentian proyek reklamasi oleh pemerintah Jakarta juga berpotensi mendapatkan gugatan hukum dari para pengembang. Hal ini yang bisa memicu situasi investasi properti di Indonesia, khususnya Jakarta, semakin kurang diminati.

Data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta menunjukkan, sektor properti (real estat dan konstruksi) setiap tahun menyumbang rata-rata 19 persen dari total Produk Domestik Regional Bruto.

Angka ini merupakan nilai awal saat proyek berjalan, sehingga belum memperhitungkan dampak ikutan (multiplier effect) dari proyek properti secara keseluruhan.

Sementara itu, pengamat Tata Ruang Universitas Trisakti Yayat Supriatna, menyatakan Anies-Sandi harus memiliki dasar hukum yang tetap terlebih dahulu jika ingin menghentikan proyek reklamasi. "Karena yang membangun itu swasta. Mereka sudah mengeluarkan biaya pembangunan tersebut," ujar Yayat.

Selain izin dari pemerintah provinsi, Yayat melanjutkan, pembangunan pulau reklamasi juga berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995. Keppres tersebut dikeluarkan Presiden Soeharto pada 13 Juli 1995.

"Kalau mau dihentikan, harus ada dasar hukum yang jelas dulu. Sementara pemerintah pusat inginnya melanjutkan pembangunan reklamasi," tutur Yayat.  

Anies Baswesan sebelumnya membantah akan bekerja sama dengan pihak swasta untuk membangun fasilitas publik di pulau reklamasi yang sudah terlanjur terbentuk, seperti Pulau C dan D.

"Saya enggak pernah bilang (kerja sama) swasta loh. Kemarin itu kan teman-teman (media) yang nulis swasta," ujar Anies di Kawasan Sabang, Jakarta Pusat, Kamis (18/5/2017).

Menurut Anies, yang dia maksud pembangunan di pulau reklamasi bisa dilakukan siapa saja, baik pemerintah atau swasta. "Saya bilangnya bisa pemerintah, bisa swasta dan pemerintah, tapi beritanya oleh swasta. Enggak loh. Bisa dengan siapa saja," tegas Anies.

Dia menegaskan, posisinya soal reklamasi tetap seperti pada janji kampanyenya, yakni menghentikan reklamasi. Hanya saja, untuk pulau reklamasi yang sudah terbentuk ada pengecualian.

"Posisi kita soal reklamasi sudah jelas Anda baca saja di janji kita. Tapi saya ingin tim sinkronisasi bisa bekerja lebih banyak untuk mengimplementasikan," kata Anies.

Dia juga menyebut tak dapat menghentikan bila ada pengembang reklamasi menempuh jalur hukum soal kebijakannya menghentikan reklamasi. "Enggak ada yang bisa menghentikan orang untuk menempuh jalur hukum," ucap Anies.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya