Liputan6.com, Jakarta - Polda Metro Jaya menyayangkan berkurangnya fungsi jalan raya di sekitar Stasiun Tanah Abang yang digunakan para pedagang kaki lima (PKL) untuk berdagang. Padahal, sesuai dengan UU Lalu Lintas, PKL bukan bagian dari lalu lintas.
Dalam rangka mengurangi kemacetan di kawasan Stasiun Tanah Abang dan PKL tetap bisa berjualan tanpa harus melanggar UU, Polda Metro Jaya mengusulkan konsep lain kepada pemerintah provinsi.
Advertisement
Baca Juga
"Pertama mungkin mengenai PKL itu didata saja, yang punya KTP Jakarta izinkan berjualan, dan gratis sewa tempatnya, tapi ditempatkan di suatu tempat tertentu," kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Pol Halim Pagarra dalam diskusi di Hotel Milenium, Jakarta, Kamis (4/1/2018).
Sebab, selama ini tidak semua PKL yang berjualan di pinggiran jalan di sekitar Stasiun Tanah Abang adalah warga Jakarta. Sebagian justru dari kota lain di sekitar Jakarta yang memanfaatkan keramaian di sekitar stasiun tersebut.
Kedua, penataan kembali rute angkutan umum dan memperbanyak angkutan umum yang memiliki kapasitas lebih banyak. Dengan demikian, lalu lintas di sekitar Tanah Abang, khususnya di sekitar stasiun jadi lebih efektif.
"Juga masalah transportasi ini memang sangat didahulukan, namun ini kita buat bagaimana yang nyaman dan efektif," tegasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Â
Penataan Lalu Lintas
Seperti diketahui sebelumnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah melakukan penataan lalu lintas di kawasan Tanah Abang, khususnya di sekitar Stasiun Tanah Abang. Di sekitar stasiun, hanya Transjakarta yang bisa melintas dan di sisi jalan digunakan pedagang kaki lima (PKL) untuk berdagang.
Hanya saja, dampak dari kebijakan rekayasa lalu lintas ini dikritisi oleh Polda Metro Jaya. Penggunaan sebagian jalan untuk PKL dianggap melanggar Undang-Undang (UU) Lalu Lintas dan UU tentang Jalan.
"Fungsi jalan sangat disayangkan digunakan bukan sebagaimana fungsi jalan itu sendiri. Bahwa manejemen rekayasa lalu lintas yang dilakukan itu di luar ketentuan undang-undang," ungkap Halim.
Sesuai dengan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan, jalan adalah seluruh bagian jalan termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum, yang berada pada permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan rel dan jalan kabel.
Tidak hanya itu, sesuai dengan UU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, menyebutkan jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori dan jalan kabel.
Dari UU tersebut disimpulkan bahwa jalan harus digunakan untuk lalu lintas umum.
"Kalau sengaja mengakibatkan terhambatnya fungsi jalan harus bayar denda Rp 1,5 miliar atau penjara 18 tahun," tegas Halim.
Advertisement