Pemerintah Siapkan Papua Jadi Contoh Pengobatan Jarak Jauh

Menteri PPN Bambang Brodjonegoro menggandeng IASA tengah mempersiapkan Papua sebagai pusat percontohan layanan kesehatan jarak jauh.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 07 Feb 2018, 15:24 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2018, 15:24 WIB
PHOTO: Bahas Kerjasama Investasi, Kepala Bappenas Lakukan Pertemuan dengan World Bank
Menteri PPN / Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro melakukan pertemuan dengan World Bank dan IFC bahas kerja sama teknis dan investasi untuk mendorong pembangunan infrastruktur di World Bank, Washington DC, Rabu (11/10). (Liputan6.com/Pool/Bappenas)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas bekerja sama dengan Indonesian American Society of Academics (IASA) sedang mempersiapkan pelayanan kesehatan jarak jauh (telemedicine) di tanah Papua. Selain itu, pembangunan sekolah berpola asrama di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menyatakan kondisi geografis adalah tantangan yang harus dihadapi pemerintah dalam menerapkan pengobatan jarak jauh di wilayah timur Indonesia tersebut.

"Kondisi alam di Papua itu sedemikian luasnya, membuat para penduduknya juga menyebar jauh dan tidak berkumpul di satu tempat," ucap Bambang di Gedung Bappenas, Jakarta, Rabu (7/2/2018).

Hambatan tersebut, menurut mantan Menteri Keuangan itu, dapat diselesaikan dengan penyediaan infrastruktur yang menunjang demi menembus belantara Papua.

"Selain itu, kita juga mendorong proyek Palapa Ring dari Menkominfo agar dapat selesai pada 2019, supaya hubungan ke daerah lainnya di Papua juga bisa bagus. Karena telemedicine mengandalkan sambungan internet yang kuat. Saya sudah cek lewat RSPAD, hubungan ke Timika sudah sangat bagus," Bambang menuturkan. 

Bambang menambahkan, Papua nantinya bisa menjadi contoh bagi daerah lainnya, serta pusat pembelajaran pelayanan pengobatan jarak jauh.

"Telemedicine ini bahkan nantinya bisa sampai telesurgery, atau pembedahan jarak jauh. Pengadaannya di Papua ini bisa jadi contoh untuk daerah lain, sekaligus pusat pembelajaran pelayanan pengobatan jarak jauh," jelasnya. 

Sementara itu, Chairman IASA Edward Wanandi menyebutkan, pihaknya akan menempatkan satu orang di Papua untuk melakukan pemantauan langsung pelaksanaan telemedicine.

"Kita akan taruh satu orang selama 12 bulan di sana, yang nantinya akan melakukan monitoring jalannya pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh dokter dan perawat di Papua," imbuh dia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Penerbangan Perintis di Papua Menantang, Ini Sebabnya

7 Daerah di Papua Buka Penerbangan Perintis Tahun Ini
tujuan pembukaan penerbangan perintis ke sejumlah daerah antara lain untuk membuka keterisolasian.

Pemerintah berupaya membuka akses di wilayah terpencil melalui angkutan udara perintis baik penumpang maupun kargo. Meski begitu, angkutan udara perintis ini bukan tanpa kendala.

Direktur Angkutan Udara Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Maria Kristi Endah mengatakan, tantangan angkutan udara perintis salah satunya terjadi di Papua. Lantaran, kondisi cuaca yang sulit diprediksi kerap membuat pesawat batal melakukan pendaratan.

"Kalau selama ini masalah gede enggak ada. Masalahnya terutama di Papua karena cuaca unpredict, jadi yang tadinya direncanakan misalnya sekali seminggu pun, lima kali seminggu enggak bisa full jalan, enggak bisa landing, balik lagi," kata dia di Bali, pada 31 Januari 2018. 

Pada 2017, terdapat 188 rute angkutan udara perintis penumpang. Kemudian, 12 rute untuk angkutan udara perintis kargo dan 1 rute subsidi angkutan udara kargo.

Khusus 188 rute angkutan udara perintis penumpang, sebanyak 17 persen untuk Sumatera, 2 persen Jawa, 13 persen Kalimantan, dan 5 persen Sulawesi.

Selanjutnya, sebanyak 2 persen Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku Utara 2 persen, dan Maluku 5 persen. Papua Barat melayani angkutan udara perintis penumpang sampai 7 persen dan Papua 47 persen.

Sementara, dari sisi realisasi frekuensi mencapai 95 persen, sedangkan realisasi penumpang 62 persen.

"Karena pesawat sudah ke sana, bawa orang harus balik, kargo juga begitu, harusnya sudah ditunggu, enggak bisa landing," ujar dia.

Dia menambahkan, karena cuaca yang sulit diprediksi, maka penerbangan kerap dilakukan pada pagi hari. "Dan Papua itu hanya bisa berangkat pagi kalau enggak salah, di bawah jam 10," ujar dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya