Liputan6.com, Jakarta Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan Indonesia menghadapi berbagai tekanan sejak awal Februari. Tekanan terutama dirasakan terhadap stabilitas khususnya nilai tukar Rupiah.
"Itu memang lebih karena perubahan kebijakan di AS yang memang berdampak ke seluruh negara, termasuk Indonesia. Ini bukan fenomena yang dihadapi Indonesia saja, seluruh negara maju maupun emerging market itu terkena dampaknya," kata Perry, di Gedung Kementerian Keuangan RI, Jakarta, Senin (28/5/2018).
Baca Juga
Perry mengungkapkan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan terjadinya tekanan pada stabilitas eksternal khususnya nilai tukar di berbagai negara.
Advertisement
Pertama, adalah rencana kenaikan suku bunga The Fed yang sejumlah pelaku pasar memperkirakan lebih agresif.
Prediksi tersebut didasarkan pada perekonomian AS yang semakin membaik sehingga pelaku pasar memperkirakan The Fed kemungkinan masih akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak empat kali atau tiga kali lagi.
"Kedua, kebijakan fiskal AS yang lebih ekspansif, penurunan pajak, ekspansi fiskal yang lebih besar sehingga defisit fiskal yang lebih tinggi menjadi 4 persen per PDB. Bahkan ada yang memperkirakan 5 persen per PDB tahun depan. Sehingga utang AS lebih tinggi, sehingga suku bunga US Treasury bondnya naik," jelas dia.
Dia mengungkapkan, semula BI memperkirakan US Treasury bond hanya 2,75 persen. Tetapi, sejak Februari terjadu overshooting 3,2 persen dan sekarang 3,1 persen.
"Itu kenapa terjadi capital revearsal, dan pembalikan modal dari negara maju maupun emerging market lari ke AS. Pada saat yang sama mata uang dolar menguat ke seluruh mata uang dunia," dia menjelaskan.
Â
Â
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Faktor Lain
Dia melanjutkan, saat ini ada faktor lain yang turut mempengaruhi yaitu sejumlah risiko geopolitik, termasuk juga ketidakpastian global perang dagang atau trade war antara AS dan Tiongkok.
"Ini yang menyebabkan tidak hanya suku bunga AS naik, dolar kuat, tapi juga premi risiko di global itu naik."
Akan tetapi, dia optimis kondisi perekonomian Indonesia saat ini sudah cukup kuat menghadapi segala tekanan eksternal.
"Saya merasa yakin bahwa ketahanan ekonomi Indonesia itu cukup kuat terhadap tekanan eksternal apakah pada saat ini, maupun episode tekanan sebelumnya pada krisis Yunani Oktober 2011, taper tantrum Mei 2013, revisi growth China 2015, dan juga brexit. Indonesia menunjukkan ketahanan yang kuat, itu yang menunjukkan koreksi harga di nilai tukar, yield obligasi dan saham year to date Indonesia sebetulnya cukup baik," dia menandaskan.
Advertisement