Pemerintah Diminta Kaji Ulang Kebijakan Cukai Rokok

Seperti diketahui dalam PMK No 146/2017 mengatur ketentuan pengurangan golongan atau layer tarif cukai.

oleh Nurmayanti diperbarui 30 Agu 2018, 18:52 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2018, 18:52 WIB
20160930- Cukai Rokok
Ilustrasi Cukai Rokok. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Kretek Indonesia (GAPPRI) berharap Kementerian Keuangan (Kemenkeu) lebih memperhatikan berbagai faktor dalam setiap mengambil kebijakan berkaitan dengan Industri Hasil Tembakau. Faktor dimaksud seperti kondisi ekonomi yang masih sulit, dan suhu politik jelang pemilu. 

"Harapan kami sebagai pengusaha, Kemenkeu sepikiran dan sepemahaman agar tidak ada generalisasi jenis kretek dan rokok putih. Kemudian kami berharap Kebijakan Cukai 2019 status quo, tetap sesuai dengan kebijakan tarif cukai hasil tembakau 2018," ucap Ketua Umum GAPPRI, Ismanu Soemiran, Kamis (30/8/2018).

Seperti diketahui dalam PMK No 146/2017 mengatur ketentuan pengurangan golongan atau layer tarif cukai. Penerapan kenaikan tarif berlaku bagi industri yang memproduksi rokok putih dan rokok kretek.

Dalam aturan dengan menghitung total kumulasi produksi keduanya, mulai 2019. Ini Kemudian menyamakan tarif cukai antara jenis rokok SKM dan SPM pada 2020, dan menghilangkan golongan I-B SKT.

Jika kenaikan tarif dan penyederhanaan layer dilakukan, Gappri khawatir membuat terjadinya kenaikan ganda. Yakni kenaikan regular tarif cukai dan kenaikan atas dampak penghapusan layer. Skema kenaikan tarif melalui pengurangan layer yang cukup signifikan dari 2018-2021.

''Perlu diingat kondisi industri rokok saat ini sedang terpuruk dengan menurunnya volume secara drastis. Ada penurunan 1-2 persen selama 4 tahun terakhir. Bahkan hingga April 2018, terjadi penurunan volume industri rokok sebesar 7 persen. Hal itu sesuai penelitian Nielsen, April 2018,'' jelas dia.

Karenanya, dia berharap pemerintah dapat mengkaji kembali rencana penerapan kenaikan cukai dan penyederhanaan layer cukai yang berpotensi akan menimbulkan kerugian, baik bagi industri maupun negara sendiri.

Ismanu Soemiran menyampaikan fakta jika penjualan Industri Hasil Tembakau (IHT) yang setor ke negara sebesar hampir 70 persen atau setara kurang lebih Rp 200 triliun. Dengan ini dinilai jika sesungguhnya IHT dapat disebut BUMN yang dikelola swasta.

Ismanu menegaskan hidup mati industri hasil tembakau tergantung pemerintah juga. Secara defacto pemerintah adalah penerima pungutan terbesar hasil penjualan IHT.

''Oleh karenanya bila pemerintah tetap kukuh kami tetap akan menjalankan kebijakan cukai 2019 /PMK146. Kami percaya pemerintah menganggap kami bagaikan angsa yang bertelur emas,'' tutur dia.

 

 

* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini

 

 

Rokok Ilegal

20160930- Ilustrasi rokok ilegal.
Ilustrasi rokok ilegal. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Selain itu, tambah dia, kenaikan cukai ini juga berpotensi meningkatkan rokok ilegal. Gappri menilai salah satu sebab meningkatnya rokok ilegal dan menurunnya produksi rokok adalah karena tingginya harga rokok akibat kenaikan tarif cukai yang tinggi di atas tingkat kemampuan beli masyarakat. Perdagangan rokok ilegal selain mengganggu stabilitas industri rokok, juga mengganggu penerimaan negara.

Dia mencontohkan rokok ilegal kian marak di Malaysia karena tarif rokok yang mahal. Hal ini juga dialami di kota New York, Amerika Serikat. ''Bila rokok ilegal makin banyak maka pemerintah juga tidak dapat penerimaaan,'' pungkasnya.

Ismanu menegaskan, para pengusaha sangat memperhatikan setiap kebijakan karena akan berdampak pada tenaga kerja dan biaya operasional yang semakin berat. Belum lagi, setiap kebijakan cukai akan membuat pengusaha tertekan sehingga bisa berdampak terhadap PHK.

"Yang kami pikirkan adalah angkatan kerja. Kami menjaga agar jangan sampai ada PHK gara-gara PMK 146. Sesuai surat GAPPRI kepada Menkeu tertanggal 23 April 2018, kami mohon pemberlakuan PMK 146 ditangguhkan, status quo dulu," tegas Ismanu.

Permintaan agar status quo, berdasarkan kondisi pasar yang sangat lesu. Dimana keseluruhan penjualan menunjukkan penurunan cukup signifikan. Kemudian, kondisi ekonomi di berbagai bidang mengalami penurunan, dan saat ini sebagian besar industri termasuk industri rokok lebih memilih bertahan dari dampak yang lebih besar daripada melakukan pengembangan.

"Masih maraknya peredaran rokok ilegal, meskipun berbagai upaya yang dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai, baik secara sendiri sendiri maupun bersama-sama dengan industri, terus digalakkan," tandas Ismanu.

GAPPRI juga berharap agar agar Kemenkeu mereview atas penyamaan klasifikasi golongan kretek dan rokok putih dalam PMK No 147/PMK.010/2017 dan PMK No146/PMK.010/2017 ini tidak dilaksanakan di tahun 2019.

Tak kalah penting, mengekstensifikasikan barang kena cukai di luar produk rokok, supaya beban industri rokok dapat diturunkan, dan ruang fiskal yang bersumber dari penerimaan cukai masih bisa diperluas.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya