Perjanjian Kerja Sama Ekonomi RI-Jepang Ditarget Kelar Juni

Perjanjian IJEPA telah berlangsung sejak 2008. Namun kemudian perjanjian kerjasama tersebut ditinjau kembali sejak 2014.

oleh Septian Deny diperbarui 03 Feb 2019, 14:15 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2019, 14:15 WIB
Kinerja Ekspor dan Impor RI
Tumpukan peti barang ekspor impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/7). Ekspor dan impor masing-masing anjlok 18,82 persen dan ‎27,26 persen pada momen puasa dan Lebaran pada bulan keenam ini dibanding Mei 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Osaka - Peninjauan menyeluruh perjanjian kerjasama ekonomi Indonesia-Jepang (IJEPA) ditargetkan rampung sebelum pertemuan G20 yang berlangsung di Osaka, Jepang pada Juni tahun ini. Dengan perjanjian ini diharapkan mampu meningkatkan kembali surplus perdagangan Indonesia dengan Negeri Sakura tersebut.

Duta Besar Indonesia untuk Jepang dan Federasi Mikronesia, Arifin Tasrif mengatakan, perjanjian IJEPA telah berlangsung sejak 2008. Namun kemudian perjanjian kerjasama tersebut ditinjau kembali sejak 2014.

"Peningkatan ekspor sedang kita upayakan di IJEPA. Ini sudah dari 2008. Masih ada beberapa item yang masih alot (perundingan peninjuan menyeluruh)," ujar dia di Osaka, Jepang, Minggu (3/2/2019).

Namun demikian, kesepakatan terkait peninjauan kerjasama dagang ini diharapkan bisa rampung sebelum pertemuan G20 pada Juni mendatang. Dengan demikian, Indonesia bisa lebih mendapatkan kelonggaran untuk melakukan ekspor ke Negeri Sakura tersebut.

"Dengan Jepang harap bisa selesai di 2019, jelang G20. Nanti kepala negara (anggota G20) meeting, sebelum itu kita harapkan disepakati," kata dia.

Dengan IJEPA ini, lanjut Arifin, diharapkan ekspor Indonesia bisa terus meningkat. Sebab, banyak negara lain yang telah melakukan perjanjian serupa dengan Jepang mengalami peningkatan ekspor yang besar.

"Ini Jepang dengan negara lain sudah banyak yang kesepakatan, ada keringanan pajak. Kalau itu bisa disepakati lebih banyak komoditas Indonesia di sektor agrikultur, perikanan bisa banyak masuk ke sini (Jepang)," ungkap dia.

Selain itu, dengan IJEPA diharapkan suplus perdagangan Indonesia terhadap Jepang juga kembali meningkat. Saat ini, perdagangan Indonesia masih surplus USD 2 juta atas Jepang.

"Indonesia selalu suplus. Tahun lalu turun karena commodity price, tapi tahun lalu wakeup lagi. (Dengan IJEPA suplus bisa naik) Bisa," tandas dia.

Kelebihan dan Kelemahan RI di Mata Investor Jepang

Budaya kerja karyawan Jepang (AFP)
Karyawan Jepang (AFP)

Indonesia memiliki sejumlah keunggulan di mata investor Jepang, yang membuat para investor tersebut ingin menanamkan modal di Tanah Air. Namun demikian ada titik lemah yang dimiliki Indonesia yang menjadi bahan pertimbangan para investor tersebut.

Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tokyo, Puji Atmoko mengatakan, dari hasil survei yang dilakukan Japan Bank for International Corporation (JBIC), Indonesia berada di urutan tiga atau empat sebagai negara tujuan investasi Jepang.

"Di situ ada survei yang kurang lebih survei itu menggambarkan dari perusahaan manufaktur Jepang di luar Jepang. Jadi katakanlah Toyota yang di Vietnam, di Beijing, di India dan Indonesia. Dari hasil survei itu menunjukkan Indonesia di kisaran nomor tiga atau empat. Jadi nomor 1 di hasil survei itu adalah China, nomor 2 India, nomor 3 Vietnam, nomor 4 Indonesia, nomor 5 Thailand. Jadi di mata mereka kita masih di lima besar ini," ujar dia di Tokyo, Jepang, Kamis (31/1/2019).

‎Menurut Puji, pertimbangan investor Jepang untuk berinvestasi di Indonesia salah satunya soal jumlah penduduk yang besar. Hal ini menjadi pasar yang menjanjikan bagi perusahaan-perusahaan Jepang.

"Pertama marketnya kita yang besar. Kedua, pertumbuhan ekonominya masih tinggi di atas lima persen. Ketiga infrastruktur makin baik. Juga iklimnya kondusif," kata dia.

Namun demikian, Indonesia juga memiliki kelemahan di mata investor Jepang. Salah satunya soal perizinan yang masih banyak menghadapi hambatan, khususnya di daerah.

"Pertama, eksekusi masalah legal itu sering kali tidak clear. Yang kedua, persaingannya di Indonesia makin ketat. Kemudian yang ketiga, upah yang relatif terus naik. Jadi begitu upah naik, mereka merelokasi ke tempat lain," ungkap dia.

Hal juga menjadi kelemahan Indonesia di mata investor Jepang yaitu soal loyalitas pekerja Indonesia. Perusahaan asal Negeri Sakura yang ada di Indonesia mayoritas berharap para pekerjanya untuk bertahan lama bekerja di perusahaannya.

"Yang keempat itu masalah manajemen stafnya. Itu orang Indonesia, pegawai-pegawai di perusahaan Jepang itu lebih mudah pindah, jadi dia dididik dua tahun terus pindah lagi. Padahal tradisinya Jepang itu dari awal masuk berharap sampai pensiun di situ. Kayak di Amerika yang pindah-pindah. Jepang itu kan dikenal untuk masuk di perusahaannya dididik. Dididik dulu, disekolahkan di Jepang enam bulan, supaya bisa sampai di level apa. Mereka anggap itu sebagai titik lemah," tandas dia.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya