Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa terjadi penambangan liar di wilayah pertambangan Kontrak Karya (KK) yang dimiliki oleh PT Freeport Indonesia.
Direktur Teknik dan Lingkungan Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sri Rahardjo mengatakan, penambangan liar atau tanpa izin (peti) di Wilayah Kerja (WK) Pertambangan Freeport ini dilakukan di wilayah pembuangan limbah sisa tambang (tailing).
"Di dalam Freeport, di dalam WK Kontrak karya dia, terutama yang tailing," kata Sri, di Jakarta, Jumat (21/3/2019).
Advertisement
Baca Juga
Selama ini sudah ada upaya dari Kementerian ESDM dan juga Freeport untuk menertibkan penambang liar tersebut. Namun tidak berhasil karena para penambang liar kembali melakukan kegiatan ilegal.
"Sudah ada beberapa kali upaya Freeport untuk menertibkan tapi memang begitulah ditertibkan balik lagi," tuturnya.
Sri mengaku, dalam mentertibkan penambangan liar kerap menghadapi tantangan. Salah satunya adalah perlawanan yang dilakukan penambang. Agar upaya tersebut berhasil, harus dilakukan penertiban secara serentak.
"Jadi yang bergerak mestinya goverment, seperti di Gunung Botak itu yang bergerak dipimpin gubernur, kemudian tim gabungan di situ upaya untuk normalisasi," tandasnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Freeport Indonesia dan Amman Kantongi Rekomendasi Ekspor
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Kementerian ESDM) telah memberikan rekomendasi ekspor mineral olahan (konsentrat), untuk PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot mengatakan, rekomendasi izin ekspor Freeport Indonesia dan Amman diterbitkan Jumat 8 Maret 2019 berlaku satu tahun hingga 2020.
"Sudah keluar hari ini (rekomendasi izin ekspor konsentrat)” kata Bambang di Jakarta, pada Jumat 8 Maret 2019.
BACA JUGA
Rekomendasi izin ekspor konsentrat tersebut terbit setelah batas waktu izin ekspor kedua perusahaan habis, untuk Freeport pada 15 Februari 2019 dan Amman habis pada 21 Februari 2019.
Sementara itu, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Yunus Saifulhak menuturkan, rekomendasi izin eksor baru diberikan sebab kedua perusaan lambat dalam melaporkan kemajuan pembangunan fasilitas pemurnian mineral (smelter).
Sehingga verifikasi kemajuan pembangunan smelter terhambat, untuk diketahui kemajuan pembangunan smelter merupakan syarat untuk mendapat rekomendasi ekspor konsentrat. Setelah rekomendasi diberikan, perusahaan harus mengajukan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) ke Kementerian Perdagangan.
"Keterlambatan rekomendasi ekspor tersebut karena keterlambatan mereka dalam menyampaikan verifikasi kemajuan progres smelternya,” ujar dia.
Advertisement