Liputan6.com, Jakarta - Ekonom perkirakan Bank Indonesia (BI) pertahankan suku bunga acuan atau BI 7-day reverse repo rate 6 persen. Sebelumnya BI gelar rapat dewan gubernur (RDG) pada 15-16 Mei 2019.
Ekonom PT Bank Pertama Tbk, Josua Pardede menuturkan, BI akan pertimbangkan tensi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China dalam menentukan suku bunga acuan.
Ketegangan perang dagang antara AS dan China membuat pasar keuangan bergejolak sejak akhir pekan lalu. Ditambah lagi sentimen nilai tukar rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat.
Advertisement
Baca Juga
Josua menuturkan, BI akan berhati-hati sehingga suku bunga acuan akan tetap di 6 persen.
"Rupiah melemah dibandingkan akhir bulan dan tensi perang dagang indikasikan volatilitas, BI akan pertahankan suku bunga acuan," ujar Josua saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (16/5/2019).
Selain itu, neraca dagang defisit mencapai USD 2,5 miliar pada April 2019, menurut Josua juga menjadi pertimbangan Bank Indonesia. Defisit neraca dagang besar tersebut akan berdampak terhadap neraca dagang pada kuartal II 2019.
Sementara itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menuturkan, BI diharapkan menurunkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps). Penurunan itu terbuka meski ada tekanan eksternal yang meningkat.
Ia menilai, penurunan suku bunga diperlukan untuk stimulus sektor riil. Ini menyusul memburuknya neraca dagang pada April 2019 yang mencapai USD 2,5 miliar.
"Pengusaha ekspor kondisinya tertekan dengan kenaikan biaya produksi dan lesunya permintaan global. Bunga yang turun ibarat angin segar sehingga tekanan tadi bisa mereda," kata dia.
Selain itu, daya saing meningkat karena biaya pinjaman turun. "Jadi kita tunggu apa BI bernyali turunkan bunga acuan sebagai langkah pre emptives dan ahead the curves," ujar Bhima.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini
Suku Bunga Acuan BI Diprediksi Hanya Turun 25 Bps pada 2019
Sebelumnya, Senior Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan, Bank Indonesia (BI) memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuan tahun ini. Bank sentral itu, diprediksi hanya akan menurunkan 25 basis poin dari suku bunga acuan saat ini di level 6 persen.
"Kami melihat terdapat ruang bagi BI untuk memangkas BI-7DRRR pada akhir tahun ini sebesar 25 bps menjadi 5,75 persen," ujar Andry saat memberi keterangan pers di Plaza Mandiri, Jakarta, Rabu, 15 Mei 2019.
Andry Asmoro melanjutkan, terdapat tiga faktor yang menentukan arah pergerakan BI-7DRRR, yakni tingkat inflasi, pergerakan suku bunga acuan the Fed, dan posisi neraca pembayaran yang berhubungan dengan current account deficit (CAD).
Untuk inflasi sendiri, sampai dengan April 2019 tingkat inflasi masih sangat stabil dan terjaga, kemudian pergerakan suku bunga The Fed juga telah memberikan sinyal positif. Hasil pertemuan FOMC Maret 2019 lalu telah mengindikasikan bahwa the Fed tidak akan menaikkan FFR di tahun ini.
"Arah kebijakan the Fed yang lebih dovish tersebut memberikan dampak positif bagi pasar keuangan global, seperti terlihat dari aliran modal asing yang telah kembali masuk ke negara-negara Emerging Market, termasuk Indonesia," ujar Andry.
Faktor terakhir juga mendukung ruang pemotongan BI-7DRRR pada tahun ini. CAD dilaporkan telah menyusut dari 3,59 persen terhadap PDB pada kuartal IV/2018 menjadi 2,60 persen terhadap PDB pada kuartal I/2019.
"Seiring dengan terus membaiknya neraca perdagangan barang, kami memperkirakan CAD akan berkurang menjadi pada kisaran 2,6 persen terhadap PDB pada 2019," tandasnya.
Advertisement
Likuiditas Ketat, BI Perkuat Strategi Operasi Moneter
Bank Indonesia (BI) memandang tantangan pengelolaan likuiditas semakin meningkat di tahun 2019. Hal ini sejalan dengan berbagai faktor struktural yang mempengaruhi ke depannya.
Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsah menyebutkan ada tiga faktor yang sangat berpengaruh terhadap kondisi likuiditas yaitu pertama adalah kondisi global yang semakin dinamis dan mempengaruhi arus lalu lintas modal. Kemudian perubahan pola belanja penerimaan dan belanja pemenntah.
"Dan peningkatan kebutuhan uang kartal yang dipengaruhi oleh faktor musiman," kata dia dia Gedung BI, Jakarta, Senin (6/5/2019).
Dia melanjutkan, potensi pengetatan likuidltas jangka pendek dapat terjadi mengingat struktur mikro pasar uang yang sangat segmented, dimana likuiditas tidak terdistribusi secara merata pada sistem perbankan.
Oleh karena itu, BI selaku bank sentral mulai aktif melakukan beberapa upaya guna menjaga ketersediaan likuiditas perbankan.
"Bank Indonesia mulai aktif melakukan ekspansi moneter sejak pertengahan 2018 dan mulai mengaktifkan OPT (Operasi Pasar Terbuka) ekspansi secara reguler sejak Januan 2019," ujarnya.
Penguatan strategi operasi moneter dijelaskannya dilakukan tanpa mempengaruhi atau melakukan perubahan stance kebijakan moneter.