YLKI Khawatir Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Picu Tunggakan Membengkak

Kenaikan iuran bisa memicu hal yang kontra produktif bagi BPJS Kesehatan.

oleh Athika Rahma diperbarui 30 Okt 2019, 18:15 WIB
Diterbitkan 30 Okt 2019, 18:15 WIB
BPJS Kesehatan Malang
Peserta Jaminan Kesehatan Nasional di BPJS Kesehatan Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi angkat suara perihal kenaikan iuran BPJS Kesehatan hingga 100 persen untuk semua kelas. 

Dari sisi finansial, kenaikan tersebut bisa menjadi solusi atas defisit finansial BPJSKes. Namun jika dilihat dari aspek yang lebih luas, kebijakan ini bisa memicu hal yang kontra produktif bagi BPJSKes

Menurut dia, setidaknya ada dua hal yang bisa memicu fenomena kontra produktif. Pertama, akan memicu gerakan turun kelas dari para anggota BPJKes. Misalnya dari kelas satu turun ke kelas dua, dan lainnya.

Kedua, akan memicu tunggakan yang lebih masif, khususnya dari golongan mandiri, yang saat ini tunggakannya mencapai 46 persenan.

"Jika kedua fenomena itu menguat, maka bisa menggegoroti finansial BPJSKes secara keseluruhan," ujar dia melalui keterangan tertulis, Rabu (30/10/2019).

Dia mengatakan, seharusnya, sebelum menaikkan iuran BPJS Kesehatan, pemerintah dan managemen BPJSKes melakukan langkah langkah strategis. Seperti melakukan cleansing data golongan PBI.

Sebab banyak peserta PBI yang salah sasaran. Banyak orang mampu yang menjadi anggota PBI. Di lapangan, banyak anggota PBI yang diikutkan karena dekat dengan pengurus RT/RW setempat.

Jika cleansing data dilakukan secara efektif, maka peserta golongan mandiri kelas III langsung bisa dimasukkan menjadi peserta PBI.

Dari sisi status sosial ekonomi golongan mandiri kelas III sangat rentan terhadap kebijakan kenaikan iuran.

Kemudian mendorong agar semua perusahaan menjadi anggota BPJSKes, atau melakukan audit perusahaan yang memanipulasi jumlah karyawannya dalam kepesertaan BPJSKes.

Sampai detik ini masih lebih banyak perusahaan yang belum mendaftarkan karyawannya sebagai anggota BPJSKes dari pada yang sudah menjadi anggota.

Ketiga, mengalokasikan kenaikan cukai rokok secara langsung untuk BPJSKes. Baru saja Menkeu menaikkan cukai rokok sebesar 25 persen.

Kenaikan cukai rokok dinilai penting untuk dialokasikan karena dampak eksternalitas negatif rokok. Ini seharusnya dialokasikan untuk penanggulangan aspek preventif promotif produk yang dikonsumsinya. 

Jika ketiga point itu dilakukan maka secara ekstrim kenaikan iuran BPJSKes tidak perlu dilakukan. "Atau setidaknya tidak perlu naik sampai 100 persen," ungkap dia. 

Pasca kenaikan iuran, YLKI meminta pemerintah dan manajemen BPJSKes untuk menjamin pelayanan yang lebih prima dan handal.

"Tidak ada lagi diskriminasi pelayanan terhadap pasien anggota BPJSKes dan non BPJSKes, tidak ada lagi faskes rujukan yang menerapkan uang muka untuk pasien opname," kata dia. 

YLKI juga mendesak pihak faskes, khususnya faskes rujukan untuk meningkatkan pelayanan, dengan cara melakukan inovasi pelayanan di semua lini, baik layanan di IGD, poli klinik dan instalasi farmasi. 

 

* Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

 

Iuran BPJS Kesehatan Resmi Naik, Cek Besaran Tarifnya

Iuran BPJS Kesehatan Naik
Suasana pelayanan BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (28/8/2019). Menkeu Sri Mulyani mengusulkan iuran peserta kelas I BPJS Kesehatan naik 2 kali lipat yang semula Rp 80.000 jadi Rp 160.000 per bulan untuk JKN kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp110.000 per bulan. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Pemerintah resmi menerbitkan aturan kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Pada 24 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Sebelumnya, ketentuan tersebut memang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Mengutip laman resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Rabu (30/10/2019), Perpres ini mengubah Pasal 29 sehingga menjadi berbunyi:

1. Iuran bagi Peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) Jaminan Kesehatan dan penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah yaitu sebesar Rp 42 ribu per orang per bulan.

2. Besaran Iuran sebagaimana dimaksud mulai berlaku pada tanggal 1 Agustus 2019. Adapun iuran bagi Peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) yang terdiri atas Pejabat Negara, pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, PNS, Prajurit, Anggota Polri, kepala desa dan perangkat desa, dan Pekerja/pegawai sebagaimana dimaksud yaitu sebesar 5 persen dari Gaji atau Upah per bulan.

Dalam pasal 30 ayat 2 disebutkan, “Iuran sebagaimana dimaksud dibayar dengan ketentuan sebagai berikut: a. 4 persen dibayar oleh Pemberi Kerja; dan b. 1 persen dibayar oleh Peserta."

Kewajiban Pemberi Kerja dalam membayar Iuran dilaksanakan oleh:

a. Pemerintah Pusat untuk Iuran bagi Pejabat Negara, PNS pusat, Prajurit, Anggota Polri, dan Pekerja/pegawai instansi pusat; dan

b. Pemerintah Daerah untuk Iuran bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah, pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Ralryat Daerah, PNS daerah, kepala desa dan perangkat desa, dan Pekerja/pegawai instansi daerah.

Kemudian dalam Pasal 30 ayat 4, disebutkan “Iuran sebagaimana dimaksud dibayarkan secara langsung oleh Pemberi Kerja kepada BPJS Kesehatan melalui kas negara kecuali bagi kepala desa dan perangkat desa.

Dasar Perhitungan Iuran

Gaji atau Upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan Iuran bagi Peserta PPU untuk Pejabat Negara, pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, PNS, Prajurit, atau Anggota Polri sebagaimana dimaksud terdiri atas Gaji atau Upah pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi, dan tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan bagi PNS daerah.

Sementara Gaji atau Upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan Iuran bagi Peserta PPU untuk kepala desa dan perangkat desa serta pekerja/pegawai sebagaimana dimaksud dihitung berdasarkan penghasilan tetap, seperti yang disebutkan dalam Pasal 33 ayat 3 dan 4.

“Gaji atau Upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan Iuran bagi Peserta PPU selain Peserta sebagaimana dimaksud terdiri atas Gaji atau Upah pokok dan tunjangan tetap, yang merupakan tunjangan yang dibayarkan kepada Pekerja tanpa memperhitungkan kehadiran Pekerja." Ketentuan mengenai komposisi persentase, batas paling tinggi Gaji atau Upah per bulan, dan dasar perhitungan Iuran bagi Peserta PPU untuk Pejabat Negara, PNS pusat, Prajurit, Anggota Polri mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2019.

Sementara ketentuan mengenai: a. komposisi persentase, batas paling tinggi Gaji atau Upah per bulan, dan dasar perhitungan Iuran bagi Peserta PPU untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah, pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, PNS daerah, kepala desa dan perangkat desa sebagaimana dimaksud, dan Pekerja/pegawai pada instansi daerah; dan b. batas paling tinggi Gaji atau Upah per bulan bagi Peserta PPU mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.

 

 

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya