Harga Beras Dunia Naik ke Posisi Tertinggi dalam 7 Tahun Efek Virus Corona

Di India, pedagang beras telah berhenti menandatangani kontrak ekspor baru

oleh Nurmayanti diperbarui 08 Apr 2020, 12:00 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2020, 12:00 WIB
Ilustrasi padi
Ilustrasi padi (iStock)

Liputan6.com, Jakarta Harga beras, yang merupakan pangan utama warga di Asia, naik mencapai posisi tertinggi dalam 7 tahun. Kenaikan antara lain disebabkan importir yang bergegas menimbun gandum, di sisi lain eksportir menahan pengiriman seiring Pandemi Virus Corona atau Covid-19.

Menurut Asosiasi Eksportir Beras Thailand, harga beras putih pecah 5 persen- patokan industri - naik 12 persen periode 25 Maret hingga 1 April 2020. Harga beras saat ini merupakan yang tertinggi sejak akhir April 2013, menurut data Reuters.

Kenaikan harga ini disebabkan ekspektasi permintaan yang lebih tinggi untuk beras Thailand. Ini setelah Thailand selaku eksportir terbesar bersama-ssama India dan Vietnam harus berjuang menghadapi gangguan ekspor dipicu berjangkitnya Corona atau COVID-19.  Negara-negara di Asia memasok 90 persen beras dunia dan mengkonsumsi dalam jumlah yang sama.

"Kenaikan harga tetap terjadi meskipun ada ekspektasi produksi bertambah tahun ini dan stok beras dan gandum berada pada titik tertinggi sepanjang masa," kata Samarendu Mohanty, Direktur Regional Asia di International Potato Center, kelompok nirlaba yang meneliti ketahanan pangan berbasis di Peru, melansir laman CNBC, Rabu (8/4/2020).

Di India, pedagang beras telah berhenti menandatangani kontrak ekspor baru karena kekurangan tenaga kerja dan gangguan logistik menghambat pengiriman kontrak yang ada, menurut pejabat industri setempat.

Sementara itu pemerintah Vietnam memberlakukan pembatasan ekspor. Bahkan sebelum terjadi lonjakan pada Maret, harga beras mulai naik pada akhir 2019 karena kekeringan parah di Thailand dan permintaan yang tinggi dari importir Asia dan Afrika. 

Asosiasi Pengekspor Padi Thailand melalui laporannya meyakinkan jika stok beras cukup, tetapi mengakui kesulitan pekerja, salah satunya dari Kamboja yang memilih pulang akibat adanya kebijakan lockdown.

“Tidak seperti sektor lain, pertanian sangat dipengaruhi oleh waktu penutupan dan bukan durasinya karena kalender penanaman dan panen yang ketat,” tulis Mohanty.

Dia mengingatkan jika musim tanam terlewatkan, tidak akan ada panen untuk musim atau sepanjang tahun.

 

Panen

Petani panen padi di Desa Cingebul, Lumbir, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Petani panen padi di Desa Cingebul, Lumbir, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Amerika Utara, Eropa dan Cina sekarang menghadapi kekurangan tenaga kerja dan gangguan jalur pasokan untuk penanaman musim semi. "Jika mereka melewatkan jendela tanam, mereka selesai sepanjang tahu," tegas dia.

Sementara di negara lain, seperti India dan negara-negara Asia Selatan lainnya, sekarang saat panen untuk tanaman musim dingin seperti gandum, kentang, kapas dan beberapa buah dan sayuran.

Meski demikian, petani membutuhkan pekerja migran untuk mengoperasikan mesin dan melakukan pekerjaan manual lainnya seperti memuat dan menurunkan produk.

"Meskipun pembelian impor beberapa komoditas telah meningkat dalam beberapa pekan terakhir, tantangan logistik dilaporkan terjadi karena kendala pergerakan dan tindakan karantina yang semakin meluas," jelas International Grain Council dalam laporannya baru-baru ini.

Dia juga mengakui peningkatan tajam dalam permintaan jangka pendek, terutama untuk makanan berbasis beras dan gandum.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya