Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia melaporkan likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada Januari 2021 tetap menunjukkan pertumbuhan positif, sedikit melambat dari pertumbuhan bulan sebelumnya.
Perkembangan tersebut terutama disebabkan oleh perlambatan pertumbuhan uang kuasi. Posisi M2 pada Januari 2021 sebesar Rp6.761,0 triliun atau tumbuh 11,8 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 12,4 persen (yoy).
Baca Juga
Berdasarkan komponennya, perkembangan M2 tersebut didorong oleh uang kuasi yang tumbuh sebesar 9,7 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 10,5 persen (yoy), terutama pada instrumen simpanan berjangka.
Advertisement
Sementara itu, komponen uang beredar dalam arti sempit (M1) tumbuh 18,7 persen (yoy) pada Januari 2021, meningkat dari 18,5 persen (yoy) pada bulan sebelumnya.
"Berdasarkan faktor yang memengaruhi, perlambatan pertumbuhan M2 pada Januari 2021 dipengaruhi oleh perlambatan tagihan bersih kepada Pemerintah Pusat," kata Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono, Selasa (23/2/2021).
Pada Januari 2021, pertumbuhan tagihan bersih kepada pemerintah sebesar 54,8 persen (yoy), menurun dari capaian bulan sebelumnya sebesar 66,9 persen (yoy).
Sementara itu, pertumbuhan kredit pada Januari 2021 membaik. Perbaikan tersebut tercermin dari pertumbuhan kredit yang kontraksi 2,1 persen (yoy), berkurang dari kontraksi 2,7 persen (yoy) pada bulan sebelumnya.
Sementara itu, Bank Indonesia juga melaporkan pertumbuhan aktiva luar negeri bersih pada Januari 2021 sebesar 14,9 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan Desember 2020 sebesar 13,6 persen (yoy).
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bunga Kredit Tak Kunjung Turun Gara-Gara Bank Cari Untung
Selama pandemi Covid-19, Bank Indonesia telah berkali-kali menurunkan suku bunga acuan. Hingga Februari 2021, BI 7-Day Reverse Repo Rate berada di posisi 3,5 persen. Lebih rendah dibandingkan Februari 2020 sebesar 4,75 persen.
Sayangnya, penurunan suku bunga acuan ini tidak selalu direspon positif oleh perbankan. Khususnya pada penurunan suku bunga pembiayaan. Suku bunga pembiayaan dinilai sulit beradaptasi dengan kebijakan bank sentral dibandingkan dengan penurunan suku bunga deposito yang cenderung lebih cepat penyesuaiannya.
"Kalau dilihat secara jangka panjang selalu seperti itu. Kalau BI rate turun, deposito ratenya turun cepat tapi kalau suku bunga kredit masih sangat rigit," kata Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial, Juda Agung dalam Taklimat Media: Kebijakan LTV dan Uang Muka KKB, Jakarta, Senin (22/2).
Sehingga kata Juda, terjadi perbedaan suku bunga kredit perbankan dan suku bunga acuan yang makin lebar. Dia melihat, perbankan dalam hal ini memanfaatkan keadaan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dalam kondisi ini.
"Artinya bank  mencoba mendapatkan keuntungan yang lebih seperti saat ini," ungkap dia.
Padahal, penurunan suku bunga acuan yang dilakukan bank sentral untuk mendorong permintaan kredit konsumsi. Maka, lanjut Juda, tidak heran jika permintaan kredit di masyarakat masih rendah.
"Makanya orang masih ragu minta kredit karena suku bunga kredit masih tinggi," kata dia.
Penurunan suku bunga kredit perbankan bisa menjadi salah satu faktor masyarakat belum  mau mengajukan pembiayaan. Terlebih dalam kondisi yang masih tinggi ketidakpastiannya.
"Ini yang sebenarnya kita tidak inginkan," kata dia.
Seharusnya, kata dia, bila Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan penurunan  suku bunga acuan, maka perbankan juga harus merespon dengan baik. Penurunan suku bunga tidak hanya pada deposito atau tabungan saja. Melainkan juga pada suku bunga pembiayaan.
"Karena kalau kita lihat dengan adanya biaya-biaya dalam suku bunga ini, ada biaya overheat cost ini sudah diturunkan juga secara cepat," kata dia.
Advertisement