Liputan6.com, Jakarta Kementerian Ketenagakerjaan mengungkapkan produktivitas buruh di Indonesia masih cukup rendah. Hal ini terjadi jika dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia.
Staf Khusus Menaker Dita Indah Sari menyebutkan hal itu dibuktikan dengan nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia itu masuk ke dalam urutan ke 13 di Asia.
Baca Juga
Dita membeberkan contoh di negara tetangga, yaitu Thailand yang dalam seminggu memiliki jam kerja 42-44 jam, sementara di Indonesia hanya 40 jam.
Advertisement
Dengan semakin sedikitnya jam kerja, menurut Dita, output atau hasil kerja yang dilakukan tenaga kerja di Indonesia pun menjadi minim. Otomatis nilai produktivitas pun jadi rendah.
"Komparasinya itu di situ, karena nilai jam kerja jadi lebih sedikit, makanya upah minimum itu ketinggian nggak sesuai dengan produktivitas jam kerja dan efektivitas tenaga kerja," paparnya, Sabtu (20/11/2021).
"Artinya kalau upah nggak cocok dengan outputnya kesimpulannya upah kita terlalu tinggi," tambah Dita.
Â
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Buruh: Kenaikan Upah 1,09 Persen di 2022 Tidak Adil
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) secara tegas menolak kenaikan upah sebesar 1,09 persen yang dinilai sangat tidak layak dan merugikan para pekerja.
Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea mengaku kecewa atas keputusan tersebut. Andi Gani menilai, kenaikan sangat tidak adil karena dipukul rata semua industri.
Karena, ada sejumlah sektor usaha yang punya pertumbuhan di atas angka tersebut seperti, rumah sakit, farmasi, telekomunikasi, dan sektor pertambangan.
"Kenaikan upah ini tidak adil. Kami sangat menolak," tegasnya dalam konferensi pers usai Rapat Koordinasi Nasional Anggota Dewan Pengupahan KSPSI di Jakarta, seperti ditulis, Sabtu (20/11/2021).
Andi Gani mengaku heran dengan formula yang dipakai Pemerintah dalam menetapkan upah minimum sebagaimana di atur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Menurutnya, saat ini Undang-Undang Cipta Kerja tengah digugat di Mahkamah Konstitusi untuk uji formil dan materil. Dengan begitu, belum ada keputusan hukum yang tetap untuk UU Cipta Kerja tersebut.
"Karena aturan turunan dari UU Cipta Kerja ini belum inkracht, belum ada keputusan MK, maka harusnya formula lama yang dipakai. Kami minta Menaker menentukan formula yang tepat dan memenuhi rasa keadilan bagi buruh," jelasnya.
Untuk itu, Andi Gani yang juga Pimpinan Konfederasi Buruh Se-ASEAN (ATUC) ini meminta agar Anggota Dewan Pengupahan dari KSPSI baik itu melalui DPD dan DPC KSPSI berupaya memperjuangkan kenaikan Upah minimum 2022 secara maksimal.
"DPP KSPSI meminta perangkat organisasi DPD dan DPC KSPSI mengawal perundingan dan memberikan arahan kepada Anggota Dewan Pengupahan dari KSPSI untuk mencapai hasil yang terbaik," ujarnya.
Advertisement