Liputan6.com, Jakarta - Pengamat transportasi sekaligus Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan MTI Pusat Djoko Setijowarno menilai, titik lemah penertiban atau pemberantasan Truk ODOL ada di penegakan hukum. Beberapa daerah sudah mulai melakukan penegakan hukum. Jika konsisten, pasti ada perubahan.
“Jika hanya sekedar memenuhi perintah pimpinan dan hanya sesekali dilakukan, jangan harap ada perubahan,” kata Djoko dalam keterangan tertulisnya, Selasa (22/2/2022).
Menurut Djoko, jadikanlah pengemudi truk mitra, bukan selalu dijadikan tersangka. Tingkatkan kompetensinya dan naikkan pendapatannya.
Advertisement
Djoko melanjutkan, di sisi pusat, dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) diarahkan agar tidak mengoperasikan lagi truk ODOL. Terlebih akan membangun Ibu Kota Negara Nusantara, dapat memberikan contoh penggunaan angkutan barang sesuai aturan.
Sementara di daerah, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas ESDM, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Dinas PU, untuk menyampaikan kepada perusahaan yang menjadi binaannya untuk tidak mengoperasikan armada truk ODOL.
“Harus diberikan apresiasi saat ini sudah bergerak bersama di semua daerah Polri, Ditjenhubdat dan Dishub untuk menertibkan angkutan barang yang melanggar aturan beroperasi di jalan raya,” ujarnya.
Baca Juga
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Akar Masalah Truk ODOL
Di sisi lain, akar masalah truk ODOL (Over Dimension Overload) adalah tarif angkut barang semakin rendah, karena pemilik barang tidak mau keuntungan selama ini berkurang (padahal biaya produksi dan lainnya meningkat), pemilik armada truk (pengusaha angkutan barang) juga tidak mau berkurang keuntungannya.
“Hal yang sama, pengemudi truk tidak mau berkurang pendapatannya. Kelebihan muatan (overload) dengan menggunakan kendaraan berdimensi lebih (over dimension) untuk menutupi biaya tidak terduga yang dibebani ke pengemudi truk,” ujarnya.
Sehingga sejumlah uang yang dibawa pengemudi truk untuk menanggung beban selama perjalanan, seperti tarif tol, pungutan liar yang dilakukan petugas berseragam dan tidak seragam, parkir, urusan ban pecah, dan sebagainya.
Uang dapat dibawa pulang buat keperluan keluarga tidak setara dengan lama waktu bekerja meninggalkan keluarga. Akhirnya, sekarang profesi pengemudi truk tidak memikat bagi kebanyakan orang, semakin sulit mendapatkan pengemudi truk yang berkualitas.
“Tekanan terbesar ada pada pengemudi truk karena mereka yang berhadapan langsung dengan kondisi nyata dilapangan,” pungkasnya.
Advertisement