Sri Mulyani: Suku Bunga AS Naik, Siap-Siap Krisis Keuangan

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dampak kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat membawa potensi krisis keuangan di berbagai belahan dunia.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Jun 2022, 16:45 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2022, 16:45 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Forum G20 di Bali
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Forum G20 di Bali (dok: Bank Indonesia)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dampak kenaikan suku bunga acuan di Amerika Serikat membawa potensi krisis keuangan di berbagai belahan dunia. Dia menegaskan, potensi ini bahkan sudah terjadi pada masa lampau.

"Setiap kenaikan suku bunga naik di Amerika Serikat pasti terjadi krisis di berbagai dunia," ujar Sri Mulyani, Jakarta, Selasa (7/6/2022).

Sri Mulyani mencontohkan, saat Amerika Serikat menaikkan suku bunga acuan sampai dengan 20 persen pada 1980, maka Brasil, Argentina dan Meksiko mengalami krisis keuangan. "Ketika interest rate naik, emerging seperti Brasil, Meksiko dan Argentina krisis keuangan," jelasnya.

Kemudian, hal yang sama juga terjadi lagi ketika tahun 1990 di mana suku bunga naik menjadi 9,75 persen. Selanjutnya, pada 2007 suku bunga acuan negara Paman Sam juga naik sampai 5,25 persen bersamaan dengan krisis keuangan global.

"Sekarang kita harus hati-hati dengan tren suku bunga naik, potensi krisis keuangan di berbagai dunia mungkin akan terjadi," ujar Sri Mulyani.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut menambahkan, pertengahan tahun ini ada beberapa kondisi yang harus diwaspadai bisa menjadi pemicu krisis. Beberapa di antaranya adalah perubahan kebijakan moneter Amerika Serikat, pandemi Covid-19 serta perang Rusia-Ukraina.

"Situasi itu tidak berdiri sendiri dan akibat policy di dalam negeri, ketahanan dan global yang makin menekan," tandasnya.

Inflasi Turki Tembus 74 Persen, Sri Mulyani Was-Was

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Keterangan Pers Menteri Keuangan, Roma, secara virtual, Minggu (31/10/2021).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Keterangan Pers Menteri Keuangan, Roma, secara virtual, Minggu (31/10/2021).

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, kenaikan harga sejumlah bahan pangan dan energi menimbulkan inflasi tinggi di sejumlah negara. Dia pun mengakui, di Indonesia tidak semua harga bisa ditahan agar tidak berdampak kepada masyarakat.

"Indonesia harus melihat guncangan ini di dalam konteks apa yang harus kita amankan. Yang perlu kita amankan pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat. Kita ingin tidak hanya ekonomi pulih, tetapi masyarakat kondisinya membaik," ujar Sri Mulyani, Jakarta, Selasa (7/6/2022).

Sri Mulyani menjelaskan, menjaga daya beli masyarakat berpotensi menimbulkan implikasi kebijakan. Sebab, jika pemerintah berupaya keras menahan kenaikan harga maka dampaknya pada pembengkakan subsidi.

"Oleh karena itu, melindungi daya beli memang masyarakat memang menimbulkan implikasi kebijakan bahwa harga sedapat mungkin harga kita tahan, tapi tidak semuanya bisa kita tahan. Ini berarti subsidi akan melonjak akan tinggi," jelasnya.

 

Selanjutnya

Menkeu Sri Mulyani Beberkan Perubahan Pengelompokan/Skema Barang Kena Pajak
Menkeu Sri Mulyani bersiap mengikuti rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/3/2021). Rapat membahas konsultasi terkait usulan perubahan pengelompokan/skema barang kena pajak berupa kendaraan bermotor yang dikenai PPnBM. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sri Mulyani menjabarkan, kenaikan ekstrem harga komoditas membuat inflasi naik seperti di Turki mencapai 74 persen. Sementara di Indonesia telah mencapai 3,5 persen.

"Kita melihat situasi kenaikan harga di berbagai negara tidak mampu di-absorb. Kenaikan itu diteruskan langsung ke perekonomian dan masyarakat sehingga banyak negara mengalami kenaikan harga di dalam negerinya. Saya bicara dengan banyak Menkeu. Menkeu Turki mengatakan inflasi didalam negerinya 74 persen, Indonesia 3,5 persen," jelasnya.

Peningkatan harga tidak hanya berdampak pada inflasi, tetapi juga pelebaran defisit. Misalnya di Mesir pelabaran defisit terus terjadi, padahal negara itu penghasil gas.

"Saya bicara dengan Menkeu Mesir mereka merasakan harga minyak naik meski mereka punya gas. Kenaikan yang sangat ekstrem. Harga energi mereka masih absorb, sehingga harga BBM sama dengan Indonesia, namun subdisinya melonjak sekali. Defisit APBN Mesir 6 persen. Ini memberikan perbandingan bahwa semua konsekuensinya ada di mana mana," tandasnya.

Reporter: Anggun P Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya