Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, upaya pemulihan ekonomi global dari pandemi Covid-19 dibayangi oleh tantangan gangguan pasokan pangan dan energi.
Hal itu ia sampaikan dalam sebuah wawancara dengan media yang berbasis di Singapura, Channel News Asia pada Selasa (14/6), di sela-sela acara Indonesia-Singapore Business Forum.
Baca Juga
Dalam wawancara eksklusif itu, Sri Mulyani mengatakan bahwa dunia, termasuk Indonesia, mengharapkan pemulihan yang lancar dan kuat dari pandemi Covid-19. Tapi itu tidak terjadi sekarang, menurutnya.
Advertisement
"Bukan hanya karena kecepatan pemulihan di sisi permintaan, yang jauh lebih cepat dari sisi penawaran, tetapi juga karena ketegangan geopolitik. Perang di Ukraina menimbulkan tekanan tambahan, atau dalam hal ini gangguan pada energi dan pangan (rantai pasokan), termasuk pupuk," kata Sri Mulyani, dikutip dari Channel News Asia, Jumat (17/6/2022).
"Dan itu menciptakan apa yang kami sebut pemulihan yang didorong oleh inflasi. Itu akan memperumit pilihan kebijakan dalam hal bagaimana Anda akan tetap melanjutkan pemulihan yang biasanya melalui mendukung reformasi fiskal, moneter dan struktural," lanjut dia.
Sri Mulyani, menambahkan, seiring dengan meningkatnya inflasi akibat tingginya harga komoditas, hal ini akan memperumit pilihan kebijakan fiskal.
Oleh karena itu, beberapa bank sentral telah menaikkan suku bunganya, seperti Bank Sentral Eropa dan Federal Reserve.
"Dan itu berimplikasi pada pertumbuhan … Sejarah juga memberi tahu kita bahwa kenaikan suku bunga dan pengetatan likuiditas dapat menciptakan potensi krisis keuangan," bebernya.
China, menjadi salah satu negara yang diprediksi tidak akan mencapai pertumbuhan ekonominya sesuai target dikarenakan dampak lockdown Covid-19 di negara itu, menghambat rantai pasokan hingga aktivitas bisnis.
Dikarenakan lockdown Covid-19 yang berkepanjangan, pertumbuhan negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu diprediksi hanya persen tahun ini - tidak seperti target 5,5 persen, menurut Â
Sri Mulyani Akui Indonesia Tengah Alami Lonjakan Harga Komoditas
Diketahui bahwa Indonesia saat ini memegang posisi presidensi negara Kelompok G20, yang terdiri dari ekonomi terbesar di dunia.
"Itulah mengapa Sekjen PBB sekarang membentuk kelompok ini yang menangani (masalah) pangan dan energi, dan potensi krisis keuangan karena setelah dua tahun pandemi, banyak negara memiliki ruang fiskal yang sangat terbatas dan sempit," kata Sri Mulyani.
Mengingat rintangan tersebut, Indonesia tetap berpikiran terbuka dan siap untuk menyesuaikan kebijakannya, ungkapnya.
"Jadi kalibrasi, kalibrasi ulang, sangat diperlukan. Ini juga yang sedang dibahas G20… Tidak seperti ada satu template, kebijakan atau arah dogmatis tetapi kami harus benar-benar melihat data dan apa yang perlu didesain ulang dalam hal kebijakan kami," jelas Sri Mulyani.
Dalam wawancara dengan Channel News Asia, Sri Mulyani pun mengakui Indonesia saat ini tengah mengalami ledakan komoditas.
"Jadi pendapatan meningkat sangat, sangat kuat. Sedangkan belanja akan dialokasikan pada prioritas yang paling penting," katanya.
Sri Mulyani menguraikan dua prioritas Indonesia untuk ekonominya saat ini.
Pertama, untuk melindungi daya beli masyarakat dalam hal konsumsi rumah tangga yang menyumbang sekitar 54 persen dari Produk Domestik Bruto negara".
"Yang kedua berusaha untuk terus mendukung momentum pemulihan, baik melalui investasi maupun ekspor, yang kini meningkat sangat drastis karena pemulihan global," ujar Sri Mulyani.
Advertisement
Indonesia Terus Tingkatkan Subsidi
Setelah dua tahun pandemi Covid-19, agar inflasi tidak berdampak pada daya beli, Pemerintah Indonesia akan terus memberikan dan bahkan meningkatkan subsidi, terutama di tengah tingginya harga BBM secara global, ungkap Sri Mulyani.
"Ini semua (langkah) bagaimana kami mencoba menggabungkan antara begitu banyak tantangan kompleks, yang membayangi proses pemulihan yang tidak mulus dan sederhana," katanya, seraya menambahkan bahwa kebijakan fiskal Indonesia perlu fleksibel karena prioritas berubah di sepanjang jalan.Â
"Selama pandemi Covid-19, prioritas kami adalah kesehatan dan jaring pengaman sosial. Pada masa goncangan pangan dan energi ini, prioritas kami adalah menjaga daya beli masyarakat," jelas Sri Mulyani.
Ketika pandemi Covid-19 mulai melanda pada tahun 2020, Indonesia mengalami resesi pertama dalam 22 tahun karena ekonominya mengalami kontraksi 2,07 persen.
Tapi Indonesia bangkit kembali tahun lalu dengan pertumbuhan 3,69 persen.
Tahun ini, bank sentral memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Tanah Air antara 4,7 persen hingga 5,5 persen.
Pada bulan Mei 2022, tingkat inflasi negara adalah 3,55 persen, tertinggi sejak Desember 2017. Namun, ini masih dalam kisaran target Bank Indonesia antara 2 persen dan 4 persen.