Transisi Energi Butuh Dana Besar, Pemerintah Ajak Pebisnis Investasi Pembangkit EBT

Peralihan energi fosil ke energi baru dan terbarukan perlu mendapat dukungan pendanaan besar, investasi yang dibutuhkan hingga USD1 triliun

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 02 Sep 2022, 00:39 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2022, 00:39 WIB
Transisi Energi Butuh Biaya Besar, Pemerintah Ajak Pebisnis Investasi
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana saat menghadiri acara Dialog Business 20 G20 (B20-G20) di Nusa Dua Bali, Selasa (30/8).

Liputan6.com, Jakarta Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana menegaskan bahwa peralihan energi fosil ke energi baru dan terbarukan perlu mendapat dukungan pendanaan besar. Setidaknya, percepatan transisi energi di Indonesia membutuhkan investasi hingga USD1 triliun di tahun 2060 untuk pembangkit EBT dan transmisi.

"Kebutuhan finansial semakin tinggi mengingat kami bakal menerapkan pensiun dini PLTU batubara di tahun-tahun mendatang," kata Rida saat menghadiri acara Dialog Business 20 G20 (B20-G20) di Nusa Dua Bali, Selasa (30/8), mewakili Menteri ESDM Arifin Tasrif.

Besarnya pendanaan tersebut, sambung Rida, memerlukan mobilisasi semua sumber keuangan baik dari perusahaan privat maupun publik.

"Kerja sama dan kolaborasi di antara semua pemangku kepentingan energi terbarukan, termasuk publik-swasta dan kemitraan bisnis ke bisnis, memiliki peran penting untuk memastikan semua potensi energi terbarukan dimanfaatkan," jelasnya.

Dalam roadmap NZE di 2060 atau lebih cepat yang disusun oleh Pemerintah, terdapat penambahan pembangkit EBT hingga 700 GW yang berasal dari solar, hidro, biomassa, angin, laut, panas bumi, serta hidrogen dan nuklir.

"Kami juga akan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dengan menghentikan pembangkit listrik fosil secara bertahap, program de-dieselisasi dan menerapkan teknologi bersih seperti CCS/CCUS," ungkap Rida.

Guna mencapai hal tersebut, pemerintah mempunyai beberapa beberapa strategi dari segi permintaan (demand). Terdapat 3 (tiga) sektor utama yang menjadi fokus pemerintah, yaitu transportasi, industri, rumah tangga dan komersial.

Tingkatkan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati

Di sektor transportasi, pemerintah akan meningkatan pemanfaatan bahan bakar nabati, penetrasi kendaraan listrik, penggunaan hidrogen untuk truk, bahan bakar ramah lingkungan untuk penerbangan, bahan bakar rendah karbon untuk pengiriman (amonia, hidrogen, bahan bakar nabati), bahan bakar elektronik yang berasal dari biosyngas, hidrogen hijau, dan elektrifikasi kapal untuk jarak dekat.

Adapula sektor industri akan diperuntukan untuk meningkatkan pangsa listrik, hidrogen sebagai substitusi gas, substitusi biomassa, penyebaran CCS. Sementara dari sektor rumah tangga dan komersial, pemerintah mengakselerasi penggunaan kompor induksi, pemanfaatan gas kota, hingga program efisiensi energi, antara lain optimalisasi pengelolaan energi dan penggunaan peralatan yang hemat energi.

"Semua upaya dari sisi suplai dan demand ini akan mengurangi emisi sebesar 1.789 juta ton CO2e pada tahun 2060. Kita akan mencapai nol emisi dari sektor ketenagalistrikan, namun 129 juta ton emisi karbon tetap ada di sektor industri dan transportasi," jelas Rida.

Sebagai informasi, Business 20 atau B20 merupakan salah satu engagement group terkemuka di dalam G20 di bawah Sherpa Track yang mewakili komunitas bisnis internasional. Melalui keberadaan para pelaku bisnis dari seluruh dunia, B20 merefleksikan peran sektor swasta sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, dan berimbang.

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya