Liputan6.com, Jakarta - Direktur Pengelolaan Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Purnama T. Sianturi menyebutkan, Barang Milik Negara (BMN) sektor hulu migas mengalami kenaikantinggi dalam lima tahun terkahir. Tercatat, sampai akhir 2021 mencapai Rp 577,71 triliun.
"Apabila kita melihat Barang Milik Negara hulu migas di neraca LKPP 2021 posisinya Rp 577,7 triliun," kata Purnama dalam konferensi pers virtual, Jumat (28/10/2022).
Baca Juga
Jika dirinci, BMN sektor hulu migas mencakup nilai tanah Rp 32,61 triliun, harta benda modal Rp 517,78 triliun, harta benda inventaris Rp 0,13 triliun, dan material persediaan Rp 27,18 triliun.
Advertisement
Dari komponen tersebut, nilai aset pemerintah mengalami kenaikan khususnya pada tanah. Seiring dengan kenaikan tanah selama 5 tahun terakhir. maka menurut Purnama nilai aset pemerintah di hulu migas otomatis turut mengalami kenaikan.
"Ketika dilakukan penilaian harga tanah makin menaik, maka meningkatlah nilai di dalam LKPP barang milik negara hulu migas," jelasnya.
Purnama menyampaikan, luas tanah yang sudah dibeli pemerintah mencapai 32.298.34 hektar, dan nilai tanah yang paling ada di Pertamina Hulu Rokan.
Terdapat 10 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan nilai BMN terbesar yakni PT Pertamina Hulu Mahakam Rp 62 triliun, PT Pertamina Hulu Rokan senilai Rp 59,64 triliun, Mobil Cepu Ltd Rp 47,74 triliun, ConocoPhilips Ind. Inc. Ltd. senilai Rp 42,13 triliun, dan PT Pertamina EP Rp 41,09 triliun.
Selanjutnya Eni Muara Bakau B.V. senilai Rp 38,18 triliun, Pertamina Hulu Energi ONWJ Ltd. senilai Rp 23,53 triliun, ConocoPhilips (Grissik) Ltd. senilai Rp 22,97 triliun, BP Tangguh LNG senilai Rp 21,81 triliun, dan Eni Rast Sepinggan Ltd. senilai Rp 17,48 triliun.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto: Potensi Gas Kita Masih Besar
Sebelumnya, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengatakan, industri hulu minyak dan gas bumi (hulu migas) di Indonesia masih sangat besar.Terutama untuk potensi gas karena dalam beberapa waktu ke depan akan ada beberapa proyek yang selesai pembangunannya.
Dwi bercerita, Indonesia saat ini memang merupakan net importir untuk minyak bumi. Saat ini produksi Indonesia kurang lebih 650 ribu barel per hari. Sedangkan kapasitas kilang yang ada mencapai 1 juta barel per hari. Artinya Indonesia masih memenuhi sekitar 40 persen minyak dan impor.
"Berbeda, kalo gas kita ekspor. Potensi ke depan akan banyak di gas," kata dia seperti ditulis Rabu (5/10/2022).
Ia pun menjabarkan beberapa proyek yang sudah siap lepas landas. Salah satunya adalah proyek strategis nasional Jambaran Tiung Biru (JTB) di Bojonegoro, Jawa Timur. Proyek ini sudah masuk tahap penyaluran gas perdana (gas in) pada Juli 2022.
Diproyeksikan lapangan ini menjadi salah satu calon penghasil gas terbesar di Indonesia dengan produksi sales gasnya yang mencapai 192 Million Standard Cubic Feet per Day (MMSCFD).
"Selain itu masih ada Proyek Stategis Nasional Tangguh yang juga onstream kuartal I 2023 dan di Masela yang mampu produksi 9,5 ton per tahun," kata Dwi Soetjipto.
Untuk itu, ia pun mengajak industri hulu migas untuk bersama sama mengembangkan potensi yang ada ini demi kemandirian energi di Indonesia.
Advertisement
Energi Bersih
Pengamat energi dari Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan, kebutuhan energi yang bersumber dari minyak dan gas terus meningkat. Saat ini saja Indonesia adalah net importir minyak dari sejak tahun 2004.
"Oleh karena itu di era transisi energi pemerintah harus meningkatkan produksi minyak agar bisa mengurangi impor minyak, sehingga negara memiliki ruang yang lebih luas untuk mengalokasikan pembiayaan energi terbarukan”, kata dia.
Mamit mengatkan bahwa industri hulu migas perlu dukungan besar dari berbagai stakeholders agar kekayaan alam migas dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan amanat dari UUD 1945.
Pada sisi lain Industri hulu migas mampu bertransformasi dalam menuju energi yang lebih bersih, dengan cara melakukan efisiensi energi maupun mengembangkan potensi bisnis CCS/CCUS.
Bahkan kedepan, jika bisnis CCS/CCUS sudah sanga dominan, justru industri hulu migas telah berubah menjadi industri bersih, karena membantu menyerap dan menyimpan CO2 yang dikeluarkan oleh industri lain, seperti industri semen, industri besi baja dan lainnya.
“Hal yang mendesak adalah revisi UU Migas untuk segera dibuat dalam rangka melindungi keberlangsungan Industri Hulu Migas dan multiplier effect. Perlu adanya political will dari semua pihak”, tegas Mamit.
Reporter: Yunita Amalia
Sumber: Merdeka.com