Liputan6.com, Jakarta Amerika Serikat dan China disebut menjadi salah satu negara dengan wilayah yang paling rentan terhadap perubahan iklim.
Hal itu diungkapkan dalam data yang diterbitkan oleh Cross Dependency Initiative (XDI), dengan beberapa pusat industri dan ekonomi global berisiko akibat naiknya permukaan laut, banjir pesisir, dan kebakaran hutan.
Baca Juga
Melansir CNBC International, Kamis (23/2/2023) pakar risiko iklim di Cross Dependency Initiative menemukan bahwa China menjadi salah satu lokasi pada 16 dari 20 wilayah global yang paling berisiko mengalami perubahan iklim.
Advertisement
XDI melakukan analisis risiko iklim fisik, menganalisis lebih dari 2.600 wilayah di seluruh dunia untuk memproyeksikan seberapa besar kerusakan ekonomi yang akan terjadi akibat bencana terkait iklim pada tahun 2050.
Dua dari pusat ekonomi sub-nasional terbesar China, yaitu Jiangsu dan Shandong, menempati peringkat teratas global untuk wilayah yang paling rentan dengan perubahan iklim, menurut data XDI.
Ditemukan juga, lebih dari separuh provinsi dalam lima puluh kota di dunia yang rentan berada di China, yang telah mengalami peningkatan investasi manufaktur dan infrastruktur di wilayah yang sudah terancam oleh perubahan iklim.
Setelah China, AS juga memiliki wilayah paling berisiko terhadap perubahan iklim, dengan Florida berada di peringkat kesepuluh dalam daftar XDI, California di urutan 19, dan Texas di peringat 20.
Hampir setengah dari semua negara bagian AS berada di atas 5 persen dari yang paling berisiko di dunia.
China, India, dan AS secara kolektif mencakup lebih dari setengah negara bagian dan provinsi di 100 wilayah global teratas, menurut XDI.
Negara ekonomi besar dan maju lainnya yang termasuk dalam 100 wilayah rentan perubahan iklim termasuk Buenos Aires, Argentina, São Paulo, Brasil, Beijing di China dan Mumbai di India.
Penyebab Kerusakan
Sebagian besar kerusakan terkait iklim yang diproyeksikan berasal dari banjir yang dikombinasikan dengan genangan pesisir, kata laporan XDI, tetapi risiko lain termasuk cuaca panas ekstrem, kebakaran hutan, pergerakan tanah terkait kekeringan, angin ekstrem, dan pencairan es.
"Karena infrastruktur yang dibangun secara ekstensif umumnya tumpang tindih dengan aktivitas ekonomi tingkat tinggi dan nilai modal, risiko fisik perubahan iklim harus dipahami dan dihargai dengan tepat," kata Kepala Eksekutif XDI Rohan Hamden.
"Sangat penting bagi perusahaan, pemerintah, dan investor untuk memahami implikasi keuangan dan ekonomi dari risiko iklim fisik dan menimbang risiko ini dalam pengambilan keputusan mereka sebelum biaya ini meningkat melampaui titik kritis keuangan," tambahnya.
Advertisement
Analisis XDI
Analisis XDI didasarkan pada kenaikan suhu 3 derajat Celcius, atau 5,4 derajat Fahrenheit, pada tahun 2100, sebuah skenario dari Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim PBB.
PBB sebelumnya telah memperingatkan bahwa negara di seluruh dunia harus meningkatkan langkah-langkah adaptasi iklim secara signifikan untuk menghindari kerusakan ekonomi besar akibat perubahan iklim. Dunia berada di jalur kenaikan suhu lebih dari 3 derajat Celcius saat ini.