Liputan6.com, Jakarta Dana Moneter Internasional (IMF), Federal Reserve Amerika Serikat (the Fed) dan bank sentral global lainnya terus menjalankan pengetatan kebijakan moneter dan tetap waspada untuk menghadapi inflasi.
Mengutip US News, Jumat (9/6/2023) juru bicara IMF Julie Kozack mengatakan bahwa momentum inflasi telah melambat di Amerika Serikat (AS), namun tetap menjadi perhatian yang mendesak.
Baca Juga
"Jika inflasi terbukti lebih bertahan dari yang diperkirakan, maka The Fed mungkin perlu mendorong suku bunga lebih tinggi lebih lama," kata Kozack kepada wartawan.
Advertisement
Dia juga menyebut, IMF akan merilis Outlook Ekonomi Dunia yang diperbarui pada 25 Juli mendatang.
"Kami melihat tantangan dalam jangka menengah untuk ekonomi global, dan itu memerlukan tindakan kebijakan yang harus diambil sekarang,"ujar Kozack.
"Kami percaya bahwa bank sentral harus tetap berada di jalur pengetatan moneter untuk mengurangi inflasi secara meyakinkan," tambahnya.
Komentar Kozack tentang ekonomi AS mengikuti tinjauan "Pasal IV" kebijakan AS, yang menunjukkan kekhawatiran lanjutan pada risiko inflasi dan mencatat bahwa data terbaru telah memvalidasi pandangannya tentang ketahanan pasar tenaga kerja.
"Saran kami tetap tidak berubah, yaitu bahwa Fed perlu tetap pada kebijakan moneter untuk memastikan penurunan inflasi yang tahan lama dan untuk memastikan bahwa ekspektasi inflasi ... tetap berlabuh dengan baik" jelasnya.
Pada April 2023, IMF memperingatkan bahwa kerentanan sistem keuangan dapat menimbulkan krisis baru dan membanting pertumbuhan global tahun ini.
IMF memperkirakan pertumbuhan PDB riil dunia sebesar 2,8 persen untuk tahun 2023 dan 3,0 persen tahun 2024 mendatang. Angka tersebut sepersepuluh poin persentase lebih rendah dari yang diprediksikan pada bulan Januari.Â
BI Tahan Suku Bunga Acuan 5,75% Usai Perry Warjiyo Kembali Jadi Gubernur Bank Indonesia
Bank Indonesia (BI) resmi kembali mempertahankan suku bunga acuan, atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen. Kebijakan itu diumumkan dalam sesi konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia Mei 2023, Kamis (25/5/2023).
Ketetapan itu diumumkan langsung oleh Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo sehari pasca dirinya kembali dilantik menjadi bos tertinggi bank sentral pada Rabu, 24 Mei 2023 kemarin.
"Berdasarkan hasil asesmen dan proyeksi menyeluruh, rapat dewan gubernur Bank Indonesia pada tanggal 24-25 Mei 2023 memutuskan untuk mempertahankan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 5,75 persen," ujar Perry.
Selain suku bunga acuan, Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada Mei 2023 juga menahan suku bunga deposit facility di kisaran 5 persen, dan suku bunga lending facility sebesar 6,5 persen.
Perry menjabarkan, putusan mempertahankan suku bunga acuan ini dibuat untuk menjaga tingkat inflasi nasional agar terkendali, seiring pergolakan ekonomi di tingkat global.
"Keputusan mempertahankan BI7DRRR ini konsisten dengan standar kebijakan moneter untuk menentukan inflasi inti tetap terkendali di 3 plus minus 1 persen di akhir 2023, dan inflasi indeks harga konsumen (IHK) kembali dalam sasaran 3 plus minus 1 persen pada akhir 2023," bebernya.
"Bank Indonesia ke depan akan fokus pada penguatan stabilisasi nilai tukar rupiah untuk kendalikan barang impor, dan mitigasi atas rambatan ketidakpastian pasar keuangan global," pungkas Perry.
Advertisement
Jerome Powell Beri Sinyal The Fed Bakal Setop Laju Suku Bunga Tinggi
Sementara itu, Ketua Federal Reserve atau Bank Sentral Amerika Serikat, Jerome Powell mengungkapkan bahwa tekanan di sektor perbankan memungkinkan kenaikan suku bunga yang tidak terlalu tinggi untuk mengendalikan inflasi.
Melansir CNBC International, Senin (22/5/2023) Powell mengatakan, inisiatif The Fed untuk menangani masalah di bank-bank menengah sebagian besar telah menghentikan terjadinya skenario terburuk.
Namun dia mengingatkan bahwa krisis di Silicon Valley Bank dan bank di AS lainnya masih dapat mengguncang perekonomian AS.
"Kebijakan stabilitas keuangan membantu menenangkan kondisi di sektor perbankan. Di sisi lain, perkembangan di sana berkontribusi pada kondisi kredit yang lebih ketat dan cenderung membebani pertumbuhan ekonomi, perekrutan dan inflasi," kata Powell dalam sebuah konferensi moneter di Washington D.C.
"Jadi sebagai hasilnya, tingkat kebijakan kami mungkin tidak perlu naik setinggi yang seharusnya untuk mencapai tujuan kami," sambungnya, seraya menambahkan masih ada ketidakpastian tentang sejauh mana langkah selanjutnya dapat berpengaruh.
Seperti diketahui, sebagian besar pasar mengharapkan The Fed akan mengambil jeda dari serangkaian kenaikan suku bunga yang dimulai pada Maret 2022.
Namun, harga telah berubah-ubah karena pejabat The Fed mempertimbangkan dampak kebijakan yang telah dan akan terjadi terhadap inflasi AS.
Powell melihat, inflasi AS masih terlalu tinggi.
"“Kami berpikir bahwa kegagalan untuk menurunkan inflasi tidak hanya akan memperpanjang penderitaan tetapi juga pada akhirnya meningkatkan biaya sosial untuk kembali ke stabilitas harga, menyebabkan kerugian yang lebih besar bagi keluarga dan bisnis, dan kami bertujuan untuk menghindarinya dengan tetap teguh dalam mengejar target kami," tambahnya. Â