Liputan6.com, Jakarta Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia buka suara soal permintaan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) yang meminta Pemerintah Indonesia menghapus kebijakan larangan ekspor nikel.
Kata Bahlil, IMF memang mendukung tujuan hilirisasi untuk mendorong transformasi struktural dan penciptaan nilai tambah serta lapangan kerja. Namun, kini IMF menentang larangan kebijakan larangan ekspor, khususnya nikel.
Baca Juga
IMF menilai kebijakan larangan ekspor nikel bisa menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara dan yang kedua berdampak negatif terhadap negara lain. Menurut Bahlil, penilaian IMF tersebut sangat keliru.
Advertisement
"Karena menurut analisa untung ruginya yang dilakukan oleh IMF itu adalah pertama menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara dan yang kedua berdampak negatif terhadap negara lain. Pemikiran IMF ini bahwa pemikiran ini keliru besar," kata Bahlil dalam Konferensi Pers Kebijakan dan Implementasi Hilirisasi sebagai Bentuk Kedaulatan Negara, Jumat (30/6/2023).
Justru dengan melakukan hilirisasi penerimaan negara meningkat. Misalnya dengan dukungan hilirisasi yang dilakukan pada komoditas nikel meningkat 10 kali lipat menjadi USD 30 miliar pada tahun 2022, dibandingkan tahun 2017-2018 yang hanya USD 3 miliar.
"Dengan kita melakukan hilirisasi itu penciptaan nilai tambah itu sangat tinggi sekali di negara kita, contoh hilirisasi kita di nikel ekspor 2017-2018 itu hanya USD 3,3 miliar. Begitu kita menyetop eksponicle kita melakukan hilirisasi ekspor kita di Tahun 2022 itu hampir USD 30 miliar atau 10 kali lipat," ujarnya.
Indonesia Rugi
Menurut Bahlil, pernyataan IMF yang menyebut Indonesia rugi dengan menyetop ekspor nikel sangat salah. Sebagai contoh, pada tahun 2016-2017 defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Cina mencapai USD 18 miliar.
Namun berkat hilirisasi, defisit neraca perdagangan Indonesia dengan Cina itu hanya USD 1,5 miliar pada tahun 2022, dan di kuartal pertama tahun 2023 itu sudah surplus USD 1 miliar. Karena ekspor tidak lagi berbentuk komoditas mentah, melainkan sudah berbentuk setengah jadi dan barang jadi.
"IMF mengatakan bahwa negara kita rugi, ini di luar nalar berpikir sehat saya, dari mana dia bilang rugi tahu tidaknya. Jadi IMF jangan ngomongnya jangan ngawur-ngawur," ujarnya.
Bahkan hasil hilirisasi, surplus neraca perdagangan Indonesia sudah sampai 25 bulan dan neraca pembayarannya juga mengalami perbaikan dan bahkan terjadi surplus. Bahlil menegaskan kembali bahwa dengan hilirisasi mampu meningkatkan pendapatan negara.
"Tahu nggak, 2021 2022 Alhamdulillah target pendapatan negara tercapai terus. Yang tahu pendapatan negara tambah atau tidak bukan IMF, tapi pemerintah Indonesia," pungkasnya.
IMF Minta Indonesia Cabut Larangan Ekspor Nikel, Kabulkan Jangan?
Ekonom sekaligus Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyarankan agar Pemerintah Indonesia mengabulkan permintaan Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) untuk menghapus kebijakan larangan ekspor nikel.
"Menurut saya batalkan saja, terlepas dari IMF yang bicara sebenarnya batalkan saja pelarangan ekspor nikel ini," kata Bhima kepada Liputan6.com, Rabu (28/6/2023).Â
Bhima paham betul bahwa maksud Pemerintah mengeluarkan kebijakan pelarangan ekspor nikel untuk hilirisasi. Namun, permasalahannya hilirisasi yang dilakukan masih bersifat setengah jadi. Jika prosesnya masih begitu, maka akan mengakibatkan kebijakan pelarangan ekspor nikel tidak efektif.
"Terkait dengan pelarang ekspor yang dari awal itu kan untuk hilirisasi, masalahnya kita hanya setengah jadi hilirisasi sekarang seperti feronikel. Jadi, cuman kalau tanggung setengah hilirisasi sementara insentif yang diberikan begitu besar tentu akan mengakibatkan tidak efektif pelarangan ekspor nikel," jelasnya.
Selain itu, Bhima juga menyoriti terkait Temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengenai dugaan ekspor ilegal 5,3 juta ton bijih nikel ke China sejak Januari 2020-Juni 2022.
"Ini kan masalah saya pikir kalau mau menarik hilirisasi yang utuh bukan dengan jalan proteksiesme pelarangan ekspor bijih nikel, tapi didorong untuk investasi hilirasinya," ujarnya.
Disisi lain, sebelumnya Indonesia kalah melawan Uni Eropa dalam gugatan larangan ekspor bijih nikel (nikel ore) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO).
Menurutnya, hal itu hanya membuang anggaran saja. Sebab, biaya yang dibutuhkan untuk sidang di WTO tidaklah murah.
"Kalau misalnya dilakukan pelarangan ekspor begini ya khawatir juga, nanti jadi gugatannya fix menang Uni Eropa untuk kasus nikel, dan itu ada biaya litigasi untuk sidang di WTO yang tidak murah juga," ujarnya.
Advertisement
Pelarangan Ekspor Bijih Nikel
Permasalahan lainnya, yakni saat kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel berlaku pada 1 Januari 2020 yang lalu, banyak pertambangan nikel yang menjual bijih nikel ke pabrik smelter dengan harga murah.Â
Sementara, smelter yang melakukan hilirisasi  hasilnya langsung diekspor ke Tiongkok, artinya ada nilai tambah yang besar yang dinikmati  Tiongkok dibandingkan ke dalam negeri.
"Ada lagi masalah lainnya, jadi pada waktu pelarangan ekspor nikel, banyak pertambangan nikel menjual ke pabrik smelter tapi harganya lebih murah dibandingkan harga internasional, atas kasus itu rugi kita," ujarnya.
Dengan demikian, Bhima menilai Indonesia seolah mengalami hilirisasi yang baik namun nyatanya masih banyak berbagai aspek hilirisasi nikel yang perlu dievaluasi.
"Seolah kita mengalami hiliriasi tapi sebenarnya masih banyak yang harus dievaluasi dan mereka menganggap Indonesia mengalakukan proteksiesme, kalau dibalas negara lain repot juga nanti merugikan," pungkasnya. Â