Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri BUMN Rosan Perkasa Roeslani mengatakan lebih dari 70 persen penduduk di kawasan ASEAN tidak memiliki rekening bank alias unbanked. Hal itu disampaikan dalam acara ASEAN Indo-Pacific Forum 2023: Inclusive digital transformation, di Hotel Mulia, Jakarta, Rabu (6/9/2023).
Â
Baca Juga
"Lebih dari 70 persen penduduk di kawasan ASEAN memiliki akses sangat sederhana terhadap layanan keuangan (underbanked) atau tidak memiliki rekening bank (unbanked). Selain itu, sekitar 39 juta dari 70 juta pelaku UMKM mengalami kekurangan pendanaan cukup besar, yaitu sebesar USD 300 miliar per tahun," kata Rosan.
Rosan pun sangat menyayangkan jumlah penduduk ASEAN yang belum terhubung dengan akses perbankan tersebut. Padahal, ASEAN merupakan rumah bagi 650 juta penduduk dan 70 juta UMKM.
Advertisement
Oleh karena itu, menurutnya peran layanan keuangan digital saat ini sangat penting untuk mengurangi kesenjangan keuangan, khususnya bagi mereka yang tidak mempunyai rekening bank dan pelaku UMKM.
"Layanan (keuangan digital) ini memainkan peran penting dalam mendorong inklusivitas keuangan ASEAN, sesuai dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan dan inklusif," jelasnya.
Inklusi Keuangan
Disisi lain, Rosan juga menyoroti terkait inklusi keuangan di Indonesia yang telah mengalami perkembangan yang pesat. Hal itu terlihat dari perkembangan perusahaan fintech yang semakin menjamur. Pada tahun 2011-2022, perusahaan fintech di tanah air meningkat 6 kali lipat, dari 51 perusahaan menjadi lebih 300 perusahaan fintech.
"Sementara itu, 33 persen masyarakat memilih e-wallet sebagai metode pembayaran pada tahun 2021. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan perekonomian paling berkembang di Asia," ujarnya.
Selain itu, transisi Indonesia menuju ekonomi digital juga mengalami peningkatan. Tercatat pembayaran non-tunai di Indonesia pada 2017-2022 meningkat dari nominal USD 813 juta menjadi USD 26 miliar.
"Terlihat jelas dengan melonjaknya pembayaran non-tunai dari USD 813 juta menjadi USD 26,2 miliar," pungkasnya.
Wamen BUMN Sebut Keuangan Digital ASEAN Tengah Menjalani Proses Revolusi
Sebelumnya, Wakil Menteri BUMN Rosan Perkasa Roeslani, mengatakan bahwa keuangan digital ASEAN tengah menjalani proses revolusi. Pasalnya, dalam beberapa tahun terakhir sektor keuangan digital ASEAN mengalami perubahan yang transformatif. Hal tersebut tentunya berdampak baik terhadap inklusi keuangan digital di ASEAN.
"Kami percaya bahwa ASEAN berada di ambang revolusi keuangan digital," kata Rosan dalam acara ASEAN Indo-Pacific Forum 2023: Inclusive digital transformation, di Jakarta, Rabu (6/9/2023).
Rosan menyebut ASEAN sebagai rumah bagi 650 juta penduduk dan 70 juta UMKM. Kendati demikian, ASEAN masih dihadapkan dengan tantangan inklusi keuangan.
"Lebih dari 70 persen penduduk di kawasan ASEAN memiliki akses sangat sederhana terhadap layanan keuangan (underbanked) atau tidak memiliki rekening bank (unbanked)," ujarnya.
Sedangkan, sekitar 39 juta dari 70 juta pelaku UMKM mengalami kekurangan pendanaan cukup besar yakni senilai USD 300 miliar per tahun.
Menurutnya, dengan adanya layanan keuangan digital diyakini mampu membuka jalan untuk mengurangi kesenjangan keuangan bagi pelaku usaha.
Maka, bagi pelaku UMKM di ASEAN yang tidak mempunyai rekening bank bisa terlayani dengan adanya layanan keuangan digital.
"Layanan-layanan ini memainkan peran penting dalam mendorong inklusi keuangan, sebuah landasan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif di kawasan ini," ujarnya.
Adapun, sejauh ini, Rosan menilai inisiatif keuangan digital di seluruh kawasan ASEAN telah berkontribusi besar dalam mempercepat inklusivitas keuangan di kawasan tersebut. Hal itu terlihat dari meningkatnya perusahaan dibidang fintech.
"Selama beberapa tahun terakhir. Indonesia telah menjadi yang terdepan dalam revolusi keuangan digital, menunjukkan pertumbuhan dan ketahanan yang luar biasa. antara tahun 2011 hingga 2022. Para pemain FinTech bisa masuk," pungkasnya.
Advertisement
OJK : Keuangan Digital Punya Peran Penting Majukan Inklusi Keuangan ASEAN
Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Mahendra Siregar mengatakan, ada beberapa strategi yang sedang dikembangkan untuk memajukan inklusi keuangan baik di Indonesia maupun di negara kawasan ASEAN lainnya.
"Salah satu peluang signifikan untuk mempercepat inklusi keuangan di era teknologi ini adalah pemanfaatan layanan keuangan digital," kata Mahendra dalam acara ASEAN Fest 2023: OJK Seminar on Financial Inclusion yang disiarkan secara daring pada Kamis (24/8/2023).
Dalam kerangka inklusi keuangan, Mahendra memaparkan, terdapat tiga landasan penting yang diperlukan untuk memfasilitasi adopsi layanan keuangan digital.Â
"Pertama, komitmen pemerintah dan sektor swasta untuk mengembangkan layanan keuangan digital. Langkah ini memerlukan kerangka hukum dan peraturan yang kuat untuk sistem informasi keuangan dan teknologi komunikasi yang memadai," paparnya.
Strategi selanjutnya adalah menerapkan layanan keuangan digital untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, termasuk menjadikan produk dan transaksi keuangan berbasis digital dapat diakses oleh masyarakat dengan menggunakan teknologi yang telah tersedia.Â
Kedua, mengembangkan dan memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menciptakan inovasi dan berbagai produk keuangan yang mengedepankan edukasi dan literasi keuangan digital.
"Ketiga, mengedukasi masyarakat tentang layanan keuangan digital, menawarkan topik-topik seperti produk keuangan, metode pembayaran digital, dan tips praktis. untuk mengelola keuangan rumah tangga secara efektif," lanjut Mahendra. Â
Target Inklusi Keuangan
Ketua OJK mengungkapkan, ASEAN memiliki target dalam memajukan inklusi keuangan di kawasan hingga 2025 mendatang.
"Target yang dikuantifikasi untuk tahun 2025 adalah mengurangi rata-rata eksklusi keuangan di ASEAN dari 44 persen menjadi 30 persen," ungkapnya.
Ada juga target untuk meningkatkan kesiapan infrastruktur inklusi keuangan di negara ASEAN dari 70 persen menjadi 85 persen, papar Mahendra, mengutip perkiraan dari UN Capital Development Fund (UNCDF).
"Jadi, sudah sampai dimana kita sekarang? Secara keseluruhan tingkat eksklusi di ASEAN telah menurun secara signifikan antara tahun 2017 dan 2022 dari 46 persen menjadi 32,6 persen. Itulah kabar baiknya," bebernya.
Advertisement