Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kementerian Perindustrian masih melakukan evaluasi terkait harga gas murah bagi industri. Kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) akan habis masa berlakunya di 2024, tahun ini.
Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana mengatakan ada sejumlah pertimbangan dalam diskusi kelanjutan kebijakan HGBT ini. Utamanya terkait dengan peningkatan daya saing industri dan alokasi yang sesuai.
Baca Juga
Dia mengamini adanya penurunan penerimaan negara dari kebijakan harga gas USD 6 per MMBTU kepada 7 sektor industri. Tapi, dia menegaskan hal itu bukan merupakan hilangnya pendapatan ke pemerintah.
Advertisement
"Kita ingin industri maju. kita ingin juga nanti sesuai dengan yang dialokasikan, kan memang betul terjadi penurunan penerimaan dari sisi pemerintah memang betul dari sisi itu. Bukan hilang artinya," kata Dadan saat ditemui di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Rabu (6/3/2024).
Kendati begitu, di sisi lain, ada dampak positif berupa peningkatan daya saing dari industri dalam negeri. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan dalam evaluasi yang dijalankan.
"Tapi itu kan (HGBT) dimanfaatkan oleh industri sehingga idustri jadi daya saingnya meningkat industri tumbuh, pajak nambah, tidak ada PHK, kira-kira seperti itu," jelasnya.
Kendati diskusinya masih berjalan, dia belum bisa memastikan kelanjutan atau perluasan kebijakan HGBT tadi.
"Bukan dilanjut, kita sedang komunikasi dengan Kementerian Perindustrian untuk mengkaji yang sekarang berjalan dan untuk melihat kelanjutannya berikutnya," tegasnya.
Potensi Pendapatan Negara Hilang
Sebelumnya, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) tidak menepis jika insentif harga gas bumi tertentu (HGBT) untuk 7 sektor industri membuat penerimaan negara turut berkurang.
Insentif harga gas murah di bawah pasaran senilai USD 6 MMBTU ini dikhususkan untuk sektor industri seperti pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Deputi Keuangan dan Komersialisasi SKK Migas Kurnia Chairi mengatakan, kebijakan itu otomatis membuat penerimaan negara dari penyaluran gas berkurang. Secara angka nilainya masih belum pasti, tapi diperkirakan bisa lebih dari USD 1 miliar atau setara Rp 15,6 triliun (kurs Rp 15.600 per dolar AS).
Nilainya saat ini sedang coba kita evaluasi. Kalau saya mencatat mungkin jumlahnya di tahun 2023 bisa mencapai lebih dari USD 1 miliar, ada potensi penurunan penerimaan negara, atau kita katakan penyesuaian penerimaan negara," terangnya dalam sesi webinar, Rabu (28/2/2024).
"Namun ini masih angka sementara yang nanti kita lakukan rekonsiliasi lebih lanjut," ujar Kurnia.
Advertisement
Harapan Bisa Terbayar
Namun begitu, Kurnia berharap insentif harga gas murah itu bisa terbayar lewat adanya peningkatan kinerja dari masing-masing kelompok industri penerima.
"Penerimaan negara yang berkurang ini tentu harapannya bisa dikompensasi dengan adanya peningkatan kinerja dan dampak multiplier effect yang dirasakan oleh industri-industri tadi," imbuhnya.
Adapun berdasarkan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Kepmen ESDM) Nomor 134 Tahun 2021, kebijakan HGBT akan berakhir pada 2024. Kurnia menyampaikan, kelanjutannya kini masih tengah dibahas.
"Sekarang sedang dilakukan evaluasi untuk nanti bisa merumuskan untuk melanjutkan kebijakan HGBT ini ke depan," pungkas dia