Liputan6.com, Jakarta Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki tidak ingin pelaku UMKM skala mikro semakin menjamur. Bukan tanpa alasan, lantaran kelas UMKM turut mempengaruhi sektor penyediaan lapangan kerja.
Teten mengatakan, pengusaha UMKM kecil-kecilan kini semakin bertebaran dengan banyaknya warung kelontong di jalanan. Menurut dia, itu semakin memperketat persaingan di pasar UMKM.
"Saya sebut persaingan di UMKM itu sudah ketat banget. Saya sering jalan lewat darat, warung sepanjang itu. Di DKI kan dari 100 rumah ada 25 warung," ujar Teten Masduki di kantornya, Jakarta, Jumat (8/3/2024).
Advertisement
Ia pun kerap bingung jika menerima laporan semakin banyaknya individu-individu yang beralih jadi pengusaha UMKM berskala mikro. Teten menilai beberapa diantaranya terpaksa jadi pengusaha warung karena tuntutan ekonomi.
Advertisement
"Saya juga sering misalnya kalau ketemu kepala dagang, wah pak Teten, UMKM di kami bagus. Bagusnya kenapa pak? Nambah pak mikronya. Waduh. Saya bilang, kalau nambah mikro artinya gagal menyediakan lapangan kerja yang lebih berkualitas," ungkapnya.
"Justru semakin sedikit yang mikro itu semakin baik. Lebih terserap. Orang bikin usaha mikro itu bukan ingin jadi entrepreneurs, tapi enggak ada lapangan kerja akhirnya harus menghidupi keluarga, bikin lah warung. Jadi enggak melahirkan ekonomi baru. Jadi kue ekonominya enggak naik, faktor pembaginya makin banyak," bebernya.
Lebih lanjut, Teten juga mengamini catatan Bank Dunia yang menyebut Indonesia harus bisa menyediakan lapangan kerja berkualitas agar bisa menjadi negara berpendapatan tinggi.
"Kenapa Bank Dunia mengusulkan ini, karena hari ini mayoritas lapangan kerja, kalau pakai hari ini kan 97 persen (penyedia lapangan kerja dari sektor UMKM)," imbuh dia.
Lapangan Kerja di UMKM
"Anggap saja data terkait sekarang 97 persen lapangan kerja di UMKM, 96 persen itu kan mikro. Mikro tuh apa, omset di bawah Rp 2 miliar, tidak produktif, lebih banyak skala ekonomi rumah tangga, informal. Bisa enggak 10 tahun lagi diganti dengan pekerjaan yang lebih kuat, misalnya pekerjaan di sektor industri. Belum tentu kan? Itu tantangannya," tegasnya.
Oleh karenanya, ia tak ingin negara hanya menunggu investasi jumbo agar penciptaan lapangan kerja semakin meluas. Teten lantas mendorong sektor UMKM bisa terindustrialisasi agar dapat menciptakan dampak ekonomi lebih besar.
"Industrialisasi UMKM ini jadi penting. Karena kita tidak bisa menunggu penciptaan lapangan kerja itu dengan hadirnya investasi besar, industri dari luar datang ke sini, rata-rata pertumbuhan kita cuman 5 persen, padahal idealnya 7 persen. Tapi yang kita pikirkan, bagaimana mengindustrialisasikan UMKM," tuturnya.
Teten Masduki: Nasib Indonesia Jadi Negara Maju Ditentukan 2 Pilpres
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki mengatakan, Indonesia hanya punya waktu tersisa 10 tahun lagi untuk mengejar misi jadi negara maju atau negara berpendapatan tinggi.
Ia lantas mengibaratkan nasib Indonesia jadi negara maju akan ditentukan dalam dua kesempatan pemilihan presiden (pilpres) selanjutnya. Adapun perhitungan ini didapatnya setelah berkaca dari China, yang butuh waktu 40 tahun untuk jadi negara dengan kekuatan ekonomi besar dunia.
"Kira-kira kalau dari pengalaman China, perlu 40 tahun jadi negara maju. Kita sudah 30 tahun, kira-kira dua pilpres lagi bisa enggak jadi negara maju," ujar Teten Masduki di Kantor Kemenkop UKM, Jakarta, Jumat (8/3/2024).
"Sayangnya di pilpres kemarin enggak dibahas ini, bisa enggak 10 tahun lagi kalau kita benchmark-nya China 40 tahun, berarti dua pilpres (lagi) lah," sambung dia.
Teten menyebut pendapatan nasional bruto (GNI) negara maju berada di kisaran USD 13.200 per kapita. Sementara GNI Indonesia saat ini masih di kisaran USD 4.500 per kapita.
"Catatan Bank Dunia menurut saya agak benar, karena Indonesia itu sekarang kuncinya kalau pendapatan per kapita dari USD 4.500 ke USD 13.200 per kapita harus menyediakan lapangan kerja yang berkualitas," imbuhnya.
Advertisement
Kondisi saat Ini
Sementara berkaca dari kondisi dalam negeri, sekitar 97 persen lapangan kerja yang ada berasal dari UMKM. Namun, Teten menyebut sekitar 96 persen diantaranya disediakan oleh pelaku usaha mikro.
"Mikro tuh apa, omset di bawah Rp 2 miliar, tidak produktif, lebih banyak skala ekonomi rumah tangga, informal. Bisa enggak 10 tahun lagi diganti dengan pekerjaan yang lebih kuat, misalnya pekerjaan di sektor industri. Belum tentu kan? Itu tantangannya," tegasnya.
Oleh karenanya, ia ingin agar mayoritas pengusaha UMKM bisa berkembang dari level mikro menjadi industrial. Sehingga negara tak perlu menunggu investasi jumbo untuk sekadar menciptakan lapangan kerja yang lebih besar.
"Industrialisasi UMKM ini jadi penting. Karena kita tidak bisa menunggu penciptaan lapangan kerja itu dengan hadirnya investasi besar, industri dari luar datang ke sini, rata-rata pertumbuhan kita cuman 5 persen, padahal idealnya 7 persen. Tapi yang kita pikirkan, bagaimana mengindustrialisasikan UMKM," tutur Teten Masduki.
Menkes: Kalau 6 Tahun Lagi Gaji Rata-Rata Pekerja Belum Rp 15 Juta, Indonesia Gagal Jadi Negara Maju
Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin kembali menekankan, Indonesia baru bisa dikatakan sebagai negara maju jika gaji rata-ratanya berada di level USD 13.000 per tahun, atau Rp 15 juta per bulan.
Namun faktanya, ia mengungkapkan, gaji rata-rata para pekerja di Indonesia saat ini masih jauh untuk bisa dikategorikan sebagai masyarakat negara maju.
"Saya orang ekonomi, negara maju definisinya jelas. Pendapatan per kapita USD 13.000 per tahun. Jadi selama belum bisa tembus itu, belum bisa masuk negara maju," ujar Menkes Budi Gunadi Sadikin dalam acara peresmian bersama Mal Pelayanan Publik (MPP), Kamis (7/3/2024).
"Sekarang Indonesia USD 4.800, harus jadi tiga kali lipat USD 13.000. Kalau dollar susah itung-itungnya orang Indonesia, dirupiahin boleh. Pendapatan rata-rata per bulan harus Rp 15 juta, sekarang Indonesia Rp 5 juta," ungkapnya.
Menurut dia, Indonesia masih punya waktu sampai 2030 untuk bisa menaikan gaji rata-rata para pekerja di level Rp 15 juta per bulan. Sebab pada tahun itu Indonesia akan menikmati puncak bonus demografi.
Advertisement