Kebijakan Moneter AS Terpengaruh Perang Israel dan Iran, Apa Itu?

Ekonom sekaligus Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto mengatakan, konflik Israel dan Palestina telah menghapus asa atas adanya penurunan suku bunga acuan dalam waktu dekat.

oleh Septian Deny diperbarui 22 Apr 2024, 15:44 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2024, 15:44 WIB
Kementerian Luar Negeri Iran mengungkap alasan penyerangan balik ke Israel (AP).
Kementerian Luar Negeri Iran mengungkap alasan penyerangan balik ke Israel (AP).

Liputan6.com, Jakarta Ekonom sekaligus Wakil Direktur INDEF Eko Listiyanto mengatakan, konflik Israel dan Palestina telah menghapus asa atas adanya penurunan suku bunga acuan dalam waktu dekat.

Khususnya lewat kebijakan moneter dari bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed yang sempat memberi harapan akan adanya penurunan suku bunga pada tahun ini.

"Konflik antara Iran-Israel ini memupus harapan untuk segera terjadinya penurunan suku bunga global, khususnya Fed Fund Rate yang sampai saat ini dia masih di 6 persen," kata Eko dan sesi webinar, Senin (22/4/2024).

Berkaca terhadap hasil survei terbaru di sektor finansial, Eko menambahkan, saat ini terjadi ketidakpastian yang semakin tinggi terkait penurunan suku bunga The Fed dalam waktu dekat.

"Kalau kita lihat katakan lah survei-survei terbaru dari financial sector, menggambarkan bahwa yang tadinya diperkirakan Juni akan terjadi penurunan Fed Fund Rate semakin tidak relevan. Artinya, higher for longer untuk Fed Fund Rate, untuk suku bunga kebijakan Amerika Serikat itu masih akan terjadi," ungkapnya.

"Bahkan katakan lah pelaku pasar yang menyatakan bahwa ini akan lebih lama, tidak akan terjadi penurunan suku bunga dalam waktu cepat angkanya (hasil survei) di atas 80 persen," imbuh dia.

Ungkapan senada pun sempat dilontarkan Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara, yang memprediksi The Fed tidak akan menurunkan suku bunga acuan dalam waktu dekat. Saat ini, The Fed masih menahan suku bunga acuan federal fund rate (FFR) di level 5,25 sampai 5,5 persen.

"Kelihatannya suku bunga di Amerika Serikat belum akan diturunkan oleh bank sentral Amerika," ucap Suahasil dalam acara Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2024 di Jakarta beberapa waktu lalu.

 

 

 

Suku Bunga Tinggi

The Fed
The Fed (www.n-tv.de)

Suahasil menerangkan proyeksi berlanjutnya suku bunga tinggi tersebut lantaran laju inflasi di AS yang dianggap masih tinggi. Sehingga, menjadi pertimbangan kuat bagi The Fed untuk mempertahankan suku bunga di level 5,25 sampai 5,5 persen.

"Karena itu kalau beberapa bulan yang lalu kita mengharapkan suku bunga Amerika sudah akan turun, sepertinya tidak akan tidak akan terjadi dalam jangka waktu yang terlalu dekat," tegasnya.

Merespons tren suku bunga tinggi tersebut, Dia memprediksi bahwa mata uang dolar AS akan semakin mengalami tren penguatan yang mendorong pelemahan nilai Tukar Rupiah. Menyusul, semakin banyaknya aliran modal investor yang masuk ke AS.

"Karena itu akan terjadi situasi yang sepertinya suku bunga Amerika masih tinggi, global modal di tingkat global Masih akan mengalir ke Amerika Serikat, artinya kita masih harus menjaga berbagai macam kondisi volatilitas yang terjadi di dunia," bebernya.

 

Rupiah Diprediksi Terus Anjlok, Bakal Tembus Rekor Terburuk Krisis Moneter 1998?

nilai rupiah melemah terhadap dollar
Pegawai menunjukkan mata uang rupiah di salah satu gerai penukaran mata uang di Jakarta, Kamis (5/1/2023). Nilai tukar rupiah ditutup di level Rp15.616 per dolar AS pada Kamis (5/1) sore ini. Mata uang Garuda melemah 34 poin atau minus 0,22 persen dari perdagangan sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Pelemahan nilai tukar rupiah yang kini berada di atas 16.000 per dolar AS kian diwaspadai. Pasalnya, kurs tersebut mendekati rekor terparah sepanjang sejarah saat terjadi krisis moneter 1998, yang tembus 16.800 per dolar AS.

Ekonom sekaligus Wakil Direktur INDEF, Eko Listiyanto, memprediksi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih akan terus berlanjut. Terlebih dengan adanya konflik antara Israel dan Iran yang Tengah memanas di kawasan Timur Tengah.

"Ke depan kalau kemudian eskalasi konflik ini tidak bisa dimoderasi, memang risiko-risiko pelemahan nilai tukar lebih rupiah lanjut masih akan terjadi. Ini yang menurut saya risiko yang sudah ada di depan mata dan harus diantisipasi ke depan, karena potensi pelemahan lebih lanjut masih kelihatan sekali," ujarnya dalam sesi webinar, Senin (22/4/2024).

Potensi pelemahan itu salah satunya dilihat dari aspek penguatan dolar AS, yang menurut Eko sangat signifikan. "Kalau kita melihat dolar indeks sepanjang 2024 ini, itu sudah naik 4,7 persen. Ini menggambarkan betapa mulai kuatnya dolar sebagai mata uang paling dicari di global," imbuhnya.

 

Bisa Tembus 16.800 per Dolar AS

Nilai Tukar Rupiah Menguat Atas Dolar
Teller tengah menghitung mata uang rupiah di penukaran uang di Jakarta, Junat (23/11). Nilai tukar dolar AS terpantau terus melemah terhadap rupiah hingga ke level Rp 14.504. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Bahkan, Eko menduga kurs rupiah bisa tembus hingga 16.800 per dolar AS jika Bank Indonesia tidak segera melakukan intervensi. Pasalnya, nilai tukar mata uang erat berkaitan dengan kebijakan fiskal dan moneter, sekaligus tingkat kepercayaan pasar.

"Nilai tukar rupiah, walaupun ini saya menduganya tidak akan, katakan lah bisa sampai 16.800, ya kalau BI intervensinya jarang-jarang dan mungkin ada kebijakan pemerintah yang hanya bicara populisme aja, mungkin bisa saja," ungkapnya.

Oleh karenanya, ia meminta bank sentral menahan rupiah di level psikologis Rp 16.500 per dolar AS, setidaknya untuk beberapa bulan ke depan.

"Level psikologis rupiah sekarang ini yang akan dilihat, ya Rp 16.500. Kalau sampai tembus 16.500, untuk ke 16.800 itu akan lebih cepat lagi. Tapi kalau kita bisa tahan ini supaya 1-2 bulan ke depan enggak sampai 16.500, maka nanti ada ruang untuk kita bernafas, katakan lah nanti turun kembali," kata Eko.

 

Infografis Nilai Tukar Rupiah
Infografis Nilai Tukar Rupiah (Liputan6.com/Trie Yas)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya