Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan di awal pekan ini. Pelemahan rupiah ini terjadi setelah data tenaga kerja AS di atas prediksi para analis dan ekonom.Â
Pada Senin (10/6/2024), nilai tukar rupiah dibuka melemah 86 poin atau 0,53 persen menjadi 16.282 per dolar AS dari sebelumnya sebesar 16.196 per dolar AS.
Baca Juga
"Rupiah berpotensi melemah hari ini terhadap dolar AS setelah data tenaga kerja AS versi pemerintah bulan Mei yaitu data Non Farm Payrolls (NFP) dan data upah rata-rata per jam menunjukkan hasil yang lebih bagus dari proyeksi pasar," kata pengamat pasar uang Ariston Tjendra dikutip dari Antara.
Advertisement
Data tenaga kerja NFP AS Mei 2024 tercatat sebesar 272 ribu, lebih tinggi dibandingkan perkiraan pasar sebesar 182 ribu dan capaian bulan sebelumnya 165 ribu.
Ariston menuturkan kondisi ketenagakerjaan yang membaik bisa mendorong kenaikan inflasi lagi sehingga ekspektasi pemangkasan suku bunga acuan AS menurun dan mendorong penguatan dolar AS lagi.
Indeks dolar AS pagi ini bergerak di kisaran 105,11, sebelumnya di Jumat pekan lalu, indeks bergerak di kisaran 104.
Ia mengatakan potensi pelemahan rupiah ke arah 16.250 per dolar AS, dengan support di kisaran 16.150 per dolar AS hari ini.
Rupiah Diramal Tembus Level Ini di Juni 2024
Sebelumnya, Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi memprediksi rupiah akan menyentuh level 16.350 per USD di bulan Juni 2024.
Ibrahim menjelaskan, faktor-faktor yang mempengaruhi kurs rupiah secara eksternal adalah ketegangan di Timur Tengah terutama setelah Israel melakukan penyerangan terhadap Rafah.Â
Fed Masih Tahan Suku Bunga
Serangan tersebut dikhawatirkan menimbulkan ketegangan baru di wilayah tersebut, di mana Mesir, Lebanon, Yaman, Suriah hingga Iran yang memberi kecaman terhadap Israel.
"Di sisi lain pun juga pengadilan internasional sudah memberikan ultimatum terhadap Israel agar tidak melakukan penyerangan, bahkan Jerman mengatakan siap untuk menangkap Perdana Menteri Israel apabila pengadilan internasional memberikan wewenang terhadap negara tersebut," Ibrahim menjelaskan.
Adapun bank sentral Amerika Serikat atau Federal Reserve yang sejauh ini diperkirakan masih akan mempertahankan suku bunga tinggi, atau bahkan akan menaikkannya.
Di minggu ini, yang menjadi alasan The Fed menahan suku bunga tinggi adalah inflasi inti AS yang masih stagnan atau belum menurun.
"Di sisi lain, pada minggu ini PDB revisi juga akan dirilis. Kita mengetahui bahwa PDB Amerika Serikat tidak sesuai dengan ekspektasi pasar membuat dollar dan yield obligasi Amerika terus mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sehingga dolar terus mengalami penguatan," papar Ibrahim.Â
Lantas, apa saja yang bisa dilakukan Pemerintah agar ekonomi masih terjaga dan Rupiah stabil?
Â
Advertisement
Stimulus Pangan
Ibrahim mengatakan, Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk kembali mengeluarkan stimulus, salah satunya pada pangan.
"Karena itulah salah satu-satunya agar konsumsi masyarakat kembali," ucapnya.
"Di sisi lain pun juga bahwa dampak dari kenaikan harga minyak, juga kemungkinan akan berdampak terhadap penurunan subsidi bahan bakar minyak, terutama yang terkait dengan diesel," tambahnya.Â