Bhima Yudhistira: Kebijakan Pajak dan Insentif Pro Orang Kaya

Pemerintah memberikan insentif PPN DTP 3% untuk kendaraan Hybrid. Hal ini semakin membuat kontradiksi, keberpihakan pemerintah ternyata jelas pro terhadap orang kaya karena kelas menengah justru diminta membeli mobil Hybrid di saat ekonomi melambat.

oleh Tira Santia diperbarui 16 Des 2024, 19:30 WIB
Diterbitkan 16 Des 2024, 19:30 WIB
Konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi, Senin, 16 Desember 2024. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)
Konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi, Senin, 16 Desember 2024. (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Liputan6.com, Jakarta - Ekonom sekaligus Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menyoroti paket kebijakan ekonomi pemerintah yang cenderung berorientasi jangka pendek dan tidak ada kebaruan yang berarti.

Paket kebijakan tersebut dikeluarkan lantaran Pemerintah akan memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025.

"Insentif dan stimulus pemerintah hampir mengulang dari insentif yang sudah ada. PPN perumahan DTP, PPN kendaraan listrik dan PPh final UMKM 0,5% sudah ada sebelumnya. Bentuk bantuan juga bersifat temporer seperti diskon listrik dan bantuan beras 10kg yang hanya berlaku 2 bulan, sementara efek negatif naiknya tarif PPN 12% berdampak jangka panjang," kata Bhima kepada Media, Senin (16/12/2024).

Disisi lain, Pemerintah juga memberikan insentif PPN DTP 3% untuk kendaraan Hybrid. Menurutnya, hal ini semakin membuat kontradiksi, keberpihakan pemerintah ternyata jelas pro terhadap orang kaya karena kelas menengah justru diminta membeli mobil Hybrid di saat ekonomi melambat.

“Harga mobil Hybrid pastinya mahal, dan ini cuma membuat konsumen mobil listrik EV yang notabene kelompok menengah atas beralih ke mobil Hybrid yang pakai BBM. Bagaimana bisa ini disebut keberpihakan pajak?” ujar Bhima.

Menurut Bhima, PPN 12% masih berdampak luas bagi banyak barang yang dikonsumsi masyarakat termasuk peralatan elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor.

“Bahkan deterjen dan sabun mandi apa dikategorikan juga sebagai barang orang mampu? Narasi pemerintah semakin kontradiksi dengan keberpihakan pajak. Selain itu kenaikan PPN 12% tidak akan berkontribusi banyak terhadap penerimaan pajak, karena efek pelemahan konsumsi masyarakat, omzet pelaku usaha akan mempengaruhi penerimaan pajak lain seperti PPh badan, PPh 21, dan bea cukai” pungkas Bhima.

Alasan Sri Mulyani Tetap Naikkan PPN 12 Persen per 1 Januari 2025

November 2024, APBN KiTa Defisit 1,81 Persen
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (tengah) bersama Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara (kiri) dan Thomas A.M Djiwandono (kanan) sesaat sebelum memberikan keterangan terkait APBN KiTa di Jakarta, Rabu (11/12/2024). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan keputusan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada awal tahun 2025 telah dipertimbangkan secara bertahap dan matang. Kebijakan PPN 12 persen sesuai amanat Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) Nomor 7 Tahun 2021.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa Undang-Undang HPP, yang disahkan pada 29 September 2021, tidak hanya mengatur peraturan perpajakan, tetapi juga mencakup kebijakan yang berpihak pada masyarakat. Salah satunya adalah melalui penyesuaian tarif PPN secara bertahap.

Kenaikan tarif PPN sebelumnya, dari 10 persen menjadi 11 persen pada 1 April 2022, dirancang untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional pasca-pandemi. Begitu pula dengan kenaikan berikutnya dari 11 persen menjadi 12 persen yang akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.

“Waktu itu, bahkan setelah pandemi, kita menaikkan tarif dari 10 persen ke 11 persen pada 1 April 2022. Kemudian DPR memutuskan penundaan kenaikan berikutnya hingga 1 Januari 2025. Hal ini memberi masyarakat waktu untuk pulih dengan memadai,” jelas Sri Mulyani dalam konferensi pers Paket Kebijakan Ekonomi di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024).

Kebijakan Pro Rakyat dalam Undang-Undang HPP

November 2024, APBN KiTa Defisit 1,81 Persen
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani mencatat belanja negara Rp2.894,5 triliun atau 87 persen dari pagu Rp3.325,1 triliun, tumbuh 15,3 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menkeu menegaskan bahwa dalam pembahasan Undang-Undang HPP, pemerintah tetap memperhatikan kebutuhan masyarakat, khususnya kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Melalui undang-undang ini, pemerintah memberikan fasilitas berupa pembebasan atau pengurangan PPN untuk barang-barang kebutuhan pokok yang banyak dikonsumsi masyarakat. Hal ini meliputi sektor pangan, pendidikan, kesehatan, transportasi, dan jasa sosial lainnya. Tujuannya adalah untuk meringankan beban masyarakat dan memastikan akses yang lebih adil terhadap barang dan jasa esensial.

“Hampir seluruh fraksi setuju bahwa negara harus menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Keberpihakan ini diwujudkan melalui fasilitas PPN untuk barang kebutuhan pokok, baik berupa barang maupun jasa yang dikonsumsi masyarakat luas,” kata Sri Mulyani.

Detail dan Pertimbangan Matang

Sri Mulyani menambahkan bahwa selama proses pembahasan Undang-Undang HPP, semua kebutuhan masyarakat telah dipertimbangkan secara rinci dan mendalam.

“Jadi, saat membahas Undang-Undang HPP, kami benar-benar memikirkan secara detail kebutuhan masyarakat dan situasi yang ada,” tutupnya.

 
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya