Liputan6.com, Jakarta - Sudah hampir 9 bulan invasi Rusia ke Ukraina. Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut hal tersebut sebagai operasi militer khusus. Tujuannya, kata Putin pada 24 Februari itu, adalah untuk mendenuklirisasi Ukraina dan untuk menyelamatkan orang-orang Rusia di Ukraina timur dari ‘genosida’.
Sehari setelah perang Rusia dimulai, World Economic Forum memprediksi bahwa serangan tersebut akan membahayakan nyawa jutaan orang, krisis pengungsi, mengancam ekonomi global, dam menimbulkan momok penyebaran nuklir.Â
Baca Juga
Lebih dari setengah tahun setelahnya, sebagian dari prediksi itu terjadi. Indonesia adalah salah satu negara yang terdampak. September lalu, harga BBM naik dan protes terjadi di mana-mana.Â
Advertisement
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut perang Rusia dan Ukraina makin memperburuk keadaan ekonomi global. Sebab Indonesia dan berbagai negara dunia baru mulai bangkit dari dampak pandemi yang memiliki banyak tantangan.
"Sebagai (bagian dari) dunia yang berjuang untuk pulih dari Pandemi, ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina semakin memperburuk tekanan ekonomi dan politik global," kata Sri Mulyani dalam Pembukaan Acara Sustainable Finance For Climate Transition di Bali Internasional Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Kamis (14/7/2022) lalu.
Sri Mulyani mengatakan geopolitik Rusia dan Ukraina menjadi penyebab utama tekanan inflasi di Indonesia. Bahkan secara global telah membuat dunia mengalami krisis energi dan krisis pangan.
Dia menuturkan, dua negara ini memiliki peran yang besar dalam perekonomian dunia. Rusia memegang peran sebagai pengekspor minyak mentah terbesar kedua.
"Dalam hal ini perdagangan internasional Rusia adalah pengekspor minyak mentah terbesar kedua," kata dia.
Badan Energi Internasional (IEA) menyebut hal tersebut sebagai ‘krisis energi global pertama yang benar-benar global, dengan dampak yang dirasakan bertahun-tahun yang akan datang’.
Mengutip World Economic Forum, Rabu (9/11/2022), berikut adalah enam bagan dari laporan World Energy Outlook 2022 IEA yang menjelaskan perubahan utama pada sektor energi pasca-invasi di dunia.Â
Harga Energi yang Lebih Tinggi
Perubahan yang paling mencolok adalah harga energi yang naik. Badan Energi Internasional atau IEA mengatakan bahwa biaya bahan bakar yang tinggi menyumbang 90 persen pada kenaikan biaya rata-rata untuk pembangkit listrik di seluruh dunia.Â
Terlebih, pandemi global berdampak pada krisis energi. Berarti ada sekitar 70 juta orang yang baru-baru ini mendapat akses ke listrik, tidak lagi mampu menjangkaunya.
IEA juga mengatakan 100 juta orang lainnya mungkin tidak lagi dapat membuat makanan dengan bahan bakar bersih, alih-alih kembali ke biomassa.
Salah satu aspek yang berpotensi positif dari hal ini adalah mendorong dunia untuk mempercepat beralih ke alternatif energi berkelanjutan.
Advertisement
Mengubah Arus Perdagangan dan Kekurangan Pasokan
Rusia memangkas aliran gas ke UE sekitar 80 persen antara Mei dan Oktober 2022, sehingga blok tersebut mengalami kekurangan yang signifikan dalam bauran energinya, dan kebutuhan mendesak untuk mencari alternatif energi dari tempat lain.
Sementara banyak mantan mitra internasional Rusia telah mengurangi atau memutuskan hubungan dengan negara itu.
Rusia juga mempertahankan produksi dan ekspor minyaknya mendekati tingkat sebelum invasi dengan meningkatkan ekspor ke negara lain seperti China, India, dan Turki.Â
Perubahan Kebijakan Energi
Perubahan dalam rute perdagangan energi tradisional berarti bahwa negara-negara yang terkena dampak harus segera membuat kebijakan energi baru. Kebijakan baru ini yang tidak hanya memprioritaskan keamanan energi jangka panjang, tetapi juga memungkinkan permintaan energi yang ada dapat terpenuhi dalam jangka pendek.
Pemerintah juga harus mengembangkan cara yang masuk akal untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050, sehingga masalah yang ditimbulkan oleh krisis energi saat ini perlu ditangani dengan mempertimbangkan hal tersebut.
Dalam beberapa kasus --terutama Undang-Undang Pengurangan Inflasi AS-- krisis mendorong proyek energi terbarukan untuk maju, bukan mundur, kata IEA.
Advertisement
Dampak Ekonomi
Biaya energi yang lebih tinggi cenderung menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa. Suku bunga yang lebih tinggi ditambah dengan penurunan pendapatan secara riil mendorong dunia menuju resesi, dan jumlah orang yang jatuh kembali ke dalam kemiskinan ekstrem meningkat.
Karena banyak negara berupaya meningkatkan biaya peminjaman uang untuk melawan inflasi, proyek energi bersih yang membutuhkan pembiayaan berpotensi terjebak dalam keterpurukan ekonomi.
Dampak Pada Emisi
Beberapa negara mempercepat target emisi mereka, yang lain meningkatkan penggunaan batu bara, dan beberapa negara melakukan keduanya pada saat yang bersamaan.Â
Dampak jangka panjang krisis energi terhadap emisi masih belum jelas. Banyak orang mengkhawatirkan dampaknya terhadap rencana untuk mencapai emisi nol bersih pada 2050.
Menurut IEA, meskipun emisi CO2 akan terus naik pada 2022, menurut proyeksi, pertumbuhannya kurang dari 1 persen lebih tinggi daripada 2021, terutama berkat peningkatan pesat energi terbarukan dan kendaraan listrik.
Advertisement
Dorongan ke Arah Energi Terbarukan
Keretakan hubungan Rusia dan pelanggan energinya menyebabkan fokus keamanan energi meningkat.
Memiliki bauran energi yang kuat dan beragam adalah inti dari kebijakan keamanan energi, dan IEA mengatakan, ada kemungkinan bahwa krisis dapat mempercepat perpindahan ke bahan bakar yang lebih berkelanjutan.
Masalah energi dunia tidak dimulai dari invasi Rusia ke Ukraina, tetapi krisis energi yang terjadi setelahnya menciptakan sejumlah perubahan seismik pada sektor energi.
Beberapa perubahan akan bersifat sementara, beberapa akan bersifat permanen, tetapi keputusan yang dibuat hari ini membentuk kembali sektor energi selamanya.
Dan seperti yang diperingatkan oleh IEA, "Kita tahu dari krisis energi di masa lalu bahwa proses penyesuaian tidak mungkin berjalan mulus".