Liputan6.com, Jakarta Ragam disabilitas yang tak terlihat secara fisik menjadi alasan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap penyandangnya. Maka dari itu, unit layanan disabilitas di lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi sangat diperlukan.
Disabilitas yang tidak terlihat adalah disabilitas mental atau disabilitas psikososial. Salah satu bentuk disabilitas psikosial adalah gangguan kecemasan yang biasa disebut anxiety.
Baca Juga
Dorong Keberagaman Atlet di Dunia Olahraga, Kemenpora dan Yayasan Berdaya Menembus Batas Resmikan Forpodis
Tiktoker Penyandang Disabilitas di Thailand Bank Leicester Meninggal Dunia Usai Dicekoki Miras
Petualangan Penyandang Disabilitas di Malang, Daki Gunung Sekaligus Jaga Alam dan Sebarkan Nilai Inklusif
Menurut Dr. Ro’fah Al Makin dari Pusat Layanan Difabel (PLD) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 50 persen kasus gangguan kesehatan mental di kalangan dewasa dimulai pada masa remaja bahkan anak-anak.
Advertisement
Di negara-negara maju remaja dengan gangguan kesehatan mental mencapai 10-20 persen. Unit layanan difabel di universitas-universitas negara maju didominasi oleh mahasiswa dengan disabilitas mental yang tidak telihat.
Setelah melakukan survei unit layanan difabel di berbagai negara, Ro’fah menemukan, sekitar 80 persen mahasiswa dengan disabilitas psikososial di luar negeri mendapatkan bantuan dari unit layanan difabel di kampus masing-masing.
“Kalau di Indonesia ini masih jarang, salah satu penyebabnya adalah kekurangan sumber daya manusia,” ujar Ro’fah dalam Lokakarya bersama Staf Khusus Presiden Angkie Yudisti, ditulis pada Sabtu (14/11/2020).
Simak Video Berikut Ini:
Gangguan Mental Picu Kenaikan Angka Bunuh Diri
Unit pelayanan difabel bagi remaja penyandang disabilitas mental atau psikososial sangat penting karena dapat menurunkan angka bunuh diri.
Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), setengah dari penyakit mental bermula sejak remaja, yakni di usia 14 tahun. Banyak kasus yang tidak tertangani sehingga bunuh diri akibat depresi menjadi akibat kematian tertinggi pada anak muda usia 15-29 tahun.
Merujuk data hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2015 prevalensi gangguan mental emosional pada remaja berumur lebih dari 15 tahun sebesar 9,8 persen. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2013 yaitu sebesar 6 persen.
Sedang, data Kementerian Kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa masyarakat perkotaan lebih rentan terkena depresi, bipolar, skizofrenia, dan obsesif kompulsif. Meningkatnya jumlah pasien gangguan jiwa di Indonesia dan di seluruh dunia disebabkan oleh pesatnya pertumbuhan hidup manusia, meningkatnya beban hidup, terutama yang dialami oleh masyarakat urban.
Advertisement