Perubahan Iklim Bikin Laki-laki Makin Langka di Muka Bumi?

Studi terbaru di Jepang menemukan, janin berjenis kelamin pria mungkin sangat rentan terhadap efek perubahan iklim. Mengapa demikian?

oleh Elin Yunita Kristanti diperbarui 01 Okt 2014, 11:59 WIB
Diterbitkan 01 Okt 2014, 11:59 WIB
Ilustrasi perubahan iklim (climate change)
Ilustrasi perubahan iklim (climate change)

Liputan6.com, Ako - Perubahan iklim diperkirakan bisa membuat rasio laki-laki dan perempuan makin tak imbang. Studi terbaru di Jepang menemukan, janin laki-laki mungkin sangat rentan terhadap efek climate change.

Begini penjelasannya: sejak tahun 1970-an, fluktuasi suhu di luar norma yang ada menjadi makin biasa di Jepang. Di saat bersamaan, terjadi peningkatan kematian janin laki-laki, dibandingkan dengan jumlah kematian calon bayi perempuan di negara itu. Demikian menurut studi.

Selama periode tersebut, rasio kelahiran bayi pria lebih sedikit dari kelahiran anak perempuan. Yang berarti makin sedikit bayi pria yang lahir, dibanding angka kelahiran bayi perempuan.

"Fakta tersebut menunjukkan bahwa iklim yang makin panas atau ekstrem bisa berakibat negatif pada janin laki-laki," demikian menurut peneliti studi Dr Misao Fukuda dari M&K Health Institute di Ako, Japan kepada situs sains LiveScience, seperti dikutip Liputan6.com, Rabu (1/10/2014).  

Para peneliti menelaah data temperatur bulanan yang dikumpulkan dari tahun 1968 sampai tahun 2012 oleh BMKG Jepang atau Japan Meteorological Agency. Juga data kematian janin dan kelahiran bayi dalam jangka waktu yang sama dari pusat data Vital Statistics of Japan.

Dalam beberapa tahun belakangan, data menyebut hampir 90 ribu kelahiran dan sekitar 1.000 kematian janin dicatat setiap bulannya di Jepang. Para peneliti menganggap kematian janin adalah yang digugurkan atau keguguran setelah 12 minggu kehamilan.

Studi juga menelaah 2 kejadian cuaca ekstrem di Jepang -- musim panas pada 2010 dan musim dingin yang membekukan pada 2011.

Selama musim panas 2010 -- yang terpanas sejak 1898 -- ada peningkatan kematian fetus pada Bulan September tahun itu dan 9 bulan kemudian, terjadi penurunan rasio bayi laki-laki dibanding bayi perempuan yang lahir di Negeri Sakura.

Fenomena serupa terjadi tahun berikutnya, selama musim dingin ekstrem di Januari 2011, terjadi peningkatan kematian janin pria, dan 9 bulan kemudian, ada penurunan jumlah bayi laki-laki lahir dibanding bayi perempuan yang lahir di negara itu.

"Temuan ini menunjukkan bahwa fluktuasi suhu baru-baru ini di Jepang, tampaknya terkait dengan makin rendahnya rasio bayi yang baru lahir berjenis kelamin pria dibanding perempuan -- sebagian karena peningkatan kematian janin laki-laki," tulis para peneliti dalam jurnal Fertility and Sterility edisi September.

Namun, studi terbaru hanya menemukan hubungan, namun tidak dapat membuktikan bahwa climate change lah yang bertanggung jawab atas perubahan rasio jenis kelamin di Jepang. Sebab, ada faktor-faktor lain, seperti polusi dan racun di lingkungan yang juga dapat mempengaruhi rasio jenis kelamin.

Tetapi para peneliti Jepang menekankan, studi mereka yang menemukan hubungan antara suhu dalam satu bulan tertentu, dan rasio jenis kelamin 9 bulan kemudian, menunjukkan bahwa fluktuasi suhu dapat memainkan peran dalam penurunan rasio jenis kelamin di negara itu baru-baru ini.



Penelitian tentang efek perubahan suhu pada rasio jenis kelamin juga pernah dilakukan sebelumnya. Sebuat studi yang dipublikasikan tahun 2008 lalu di jurnal PNAS, menemukan hubungan antara suhu dingin dan penurunan rasio jenis kelamin di negara-negara Skandinavia antara tahun 1865 dan 1914. Namun sebaliknya, penelitian juga menemukan hubungan antara suhu hangat dan peningkatan rasio.

Selain itu, dua studi sebelumnya di Finlandia dan Selandia Baru tidak menemukan hubungan antara kenaikan suhu tahunan di sana dengan rasio jenis kelamin dari bayi yang baru lahir dari pertengahan 1800-an sampai pertengahan 2000-an.

Selandia Baru atau Finlandia mengalami suhu ekstrem yang sama dengan Jepang, di mana musim panas bisa menjadi sangat panas dan musim dingin yang sangat dingin.

"Sangat menarik untuk mengetahui apakah negara lain mengamati rasio jenis kelamin bayi yang baru lahir selama peristiwa cuaca ekstrem belakangan ini," kata para peneliti.

Alasan mengapa bayi laki-laki mungkin lebih rentan terhadap suhu ekstrem belum diketahui pasti. Diduga embrio laki-laki dipengaruhi secara negatif oleh faktor stres seperti gempa bumi atau racun. Beberapa penelitian juga menemukan bahwa kelahiran bayi laki-laki menurun dengan meningkatnya lintang geografis (iklim dingin) di Eropa dan Asia.

Beberapa studi telah menyarankan bahwa perubahan terbaru dalam rasio jenis kelamin di Jepang dipengaruhi musibah gempa bumi dan tsunami pada Maret 2011, yang menyebabkan lebih dari 18.000 kematian. Namun, para peneliti studi terbaru tak sepakat soal itu.

Kata mereka, meskipun ada pengurangan secara keseluruhan dalam persentase kelahiran Negeri Sakura 9 bulan setelah gempa, tidak ada pengaruh yang signifikan terkait rasio jenis kelamin saat kelahiran. Perubahan iklim lah pemicunya. (Tnt)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya