Liputan6.com, London - Horor itu kembali menggema. Tentang kebangkitan kecerdasan buatan atau artificial Intelligence (AI) yang dikhawatirkan bisa menggeser bahkan menjadi penyebab punahnya ras manusia. Kali ini, ilmuwan ternama Stephen Hawking yang angkat bicara.
Ia memperingatkan, perkembangan mesin yang bisa berpikir laiknya manusia bisa menjadi ancaman utama eksistensi manusia.
"Perkembangan kecerdasan buatan yang tak terkendali bisa mengakhiri eksistensi ras manusia," kata Hawking kepada BBC, seperti Liputan6.com kutip dari situs sains LiveScience, Rabu (3/12/2014).
Evolusi biologis manusia, kata Hawking, tak secepat perkembangan teknologi kecerdasan buatan. "Umat manusia, dibatasi oleh evolusi biologis yang lambat, tidak akan mampu bersaing dan akan tertinggal."
Komentar ilmuwan asal Inggris dilontarkan sebagai respons atas pertanyaan tentang sistem suaranya yang baru.
Hawking menderita amyotrophic lateral sclerosis (ALS)-- penyakit yang menyerang syaraf motorik, sehingga menyebabkan otak penderita tidak dapat memberikan perintah kepada otot untuk bergerak. Sejak usia 21 tahun, ia kesulitan bahkan kemudian tak mampu bicara.
Untuk berkomunikasi, selama ini Hawking menggunakan voice synthesizer -- yang melafalkan kata-kata dari apa yang ia ketik menggunakan gerakan otot pipi. Baru-baru ini ia menggunakan sistem baru yang mengandung kecerdasan buatan, yang dikembangkan sebagian oleh perusahaan Inggris, Swiftkey, yang bisa mempercepat proses percakapan.
Ancaman Terbesar Manusia?
Kekhawatiran tentang perkembangan tak terkendali kecerdasan buatan sudah lama terpendam, bahkan selama beberapa abad.
Juga menjadi bagian dari budaya populer, misalnya dalam "2001: A Space Odyssey" film besutan Stanley Kubrick yang dirilis tahun 1968 hingga karakter yang dimainkan Arnold Schwarzenegger dalam film-film Terminator.
Penemu sekaligus futurolog Arnold Ray Kurzweil, yang adalah direktur pengembangan teknik di Google bahkan menyebut tahun 2045 sebagai saatnya mesin melampaui kecerdasan manusia.
Triliuner yang terjun ke binis luar angkasa lewat bendera SpaceX, Elon Musk juga menyebut, kecerdasan buatan sebagai 'ancaman terbesar manusia.
Musk, yang juga CEO Tesla Motor di depan penyimaknya di MIT memperingatkan, umat manusia perlu berhati-hati terhadap Al. Ia pun menyerukan agar pihak nasional juga internasional mengawasi perkembangannya.
"Kita harus ekstra hati-hati dengan Al. Kecerdasan buatan lebih berpotensi bahaya dari nuklir," demikian ciapan Musk di Twitter Agustus lalu.
Potensi ancaman juga jadi alasan sejumlah perwakilan negara dan organisasi dunia berkumpul, untuk mendiskusikan bagaimana cara mencegah kecerdasan buatan dalam bentuk 'robot otonom mematikan'Â atau lethal autonomous robots, dalam Konvensi Khusus PBB tentang Senjata Konvensional Tertentu (CCW) yang digelar di Jenewa, Swiss.
'Kekhawatiran Berlebihan'
Namun, tak semua ahli berpendapat sama, bahwa kecerdasan buatan mengancam umat manusia. Charlie Ortiz, kepala pengembangan Al di perusahaan perangkat lunak Nuance Communications yang berbasis di Burlington, Massachusetts menyebut, kekhawatiran itu berlebihan.
"Aku tak menemukan alasan jika mesin-mesin menjadi makin cerdas...sesuatu yang akan terjadi nanti -- mereka bakal menghancurkan atau membahayakan kita," kata Ortiz kepada LiveScience.
Ortiz menambahkan, kekhawatiran terhadap Al berdasarkan premis bahwa jika spesies tertentu makin cerdas, maka mereka punya kecenderungan makin mengontrol dan makin kejam. "Aku ingin berpikir sebaliknya: makin cerdas, sebuah ras makin bijak, damai, dan memperlakukan orang lain dengan lebih baik."
Ortiz menambahkan, pengembangan mesin super-cerdas masih jadi isu penting. Namun, ia tak yakin itu akan terjadi dalam waktu dekat. "Banyak hal harus dilakukan sebelum komputer mendekati level itu."
Bagaimana menurut Anda? Apakah robot atau mesin cerdas layak dianggap ancaman?
(Ein/Riz)
Advertisement